MataTimor.com – Sabu Raijua – Kamis, 21 November 2024, sebuah momen bersejarah dan penuh makna terjadi di Kampung Adat Namata, Desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Calon Gubernur NTT Nomor Urut 3, Simon Petrus Kamlasi (SPK), mengunjungi kampung adat ini dengan penuh penghormatan dan diterima dengan adat yang sangat khas oleh masyarakat setempat. Kunjungan ini bukan sekedar perjalanan biasa, melainkan simbolisasi hubungan yang lebih mendalam antara SPK dan masyarakat Sabu Raijua.
Di Kampung Adat Namata, SPK diterima sebagai bagian dari keluarga besar orang Sabu, yang ditandai dengan pemberian nama adat yang sarat makna. Nama tersebut bukan sekadar sebutan, tetapi sebuah doa dan harapan besar bagi perjalanan hidupnya sebagai calon pemimpin NTT.
Saat tiba di Namata, SPK diberi nama “Ama Pannu Pe,” yang diambil dari nama aslinya, Simon Petrus. Nama ini, menurut Marihi, juru kunci rumah adat, memiliki arti yang mendalam, Ma Pannu Pe adalah bulan terang setelah purnama, simbol harapan agar SPK dapat bersinar terang, memberi cahaya, dan menjadi pemimpin yang bijaksana tanpa memandang perbedaan. Begitu juga dengan istri SPK, Esther Meylani Kamlasi-Siregar, yang diberi nama “Ina Ratu.” Nama ini menggambarkan seorang perempuan yang mampu memimpin dan memberi inspirasi bagi kaumnya.
“Pemberian nama ini memiliki makna yang sangat dalam. Ini adalah doa agar Ma Pannu Pe bisa memimpin dengan bijaksana dan membawa terang bagi NTT,” ungkap Marihi. Menurutnya, pemberian nama adat adalah simbol penerimaan penuh, yang berarti SPK kini dianggap sebagai keluarga oleh orang Sabu. Sebagai keluarga, sudah seharusnya mereka saling mendukung dalam segala hal, termasuk dalam perjuangan untuk memimpin NTT.
Marihi mengungkapkan bahwa kedatangan SPK ke Namata ini sangat tepat. Ia datang saat masyarakat Sabu tengah sibuk mempersiapkan kebun untuk menyambut hujan dan masa tanam. Di saat yang sama, SPK juga tengah berjuang untuk meraih posisi pemimpin di NTT. “Kami berharap SPK akan memimpin NTT dengan bijaksana, sebagaimana pemimpin-pemimpin dari Sabu Raijua yang telah melahirkan kebijakan dan keberanian untuk memajukan daerahnya,” ujar Marihi penuh harap.
Penerimaan yang penuh kehangatan dan ketulusan ini menyentuh hati SPK. Dalam kesempatan tersebut, ia mengungkapkan rasa terima kasih dan kebanggaannya. “Ini adalah momen yang tak akan saya lupakan. Nama ini bukan sekadar sebutan, tapi doa yang mengikat saya dengan masyarakat Sabu Raijua. Saya akan mengenalkan diri saya sebagai Ma Pannu Pe kepada setiap orang yang saya temui, sebagai bentuk ikatan dan rasa cinta saya terhadap orang Sabu,” kata SPK dengan haru.
Selain menerima nama adat, SPK juga menegaskan komitmennya untuk menjaga dan melestarikan keberadaan Kampung Adat Namata sebagai simbol budaya dan identitas masyarakat Sabu Raijua. Ia menilai, kampung adat dan rumah adat merupakan aset berharga yang harus dijaga kelestariannya, karena mencerminkan jati diri dan kehormatan orang Sabu.
“Sebagai bagian dari visi SIAGA, kami akan memberikan perhatian lebih pada pelestarian budaya, salah satunya melalui revitalisasi rumah adat. Kampung Adat Namata akan menjadi salah satu prioritas dalam program ini. Kami akan memastikan sarana dan prasarana pendukung di sini diperbaiki, agar wisatawan yang datang dapat merasa nyaman dan terkesan dengan keindahan budaya kita,” ujar SPK dengan penuh semangat.
Kampung Adat Namata bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan simbol peradaban dan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Di sinilah, para pemimpin dari Sabu Raijua dilahirkan, yang dengan bijaksana membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Pemberian nama adat kepada SPK adalah bentuk pengakuan bahwa ia kini telah diterima sebagai bagian dari sejarah dan tradisi masyarakat Sabu.
Kunjungan ini bukan hanya sekedar sebuah upacara adat, tetapi sebuah janji untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya yang ada. Dalam konteks ini, hubungan antara SPK dan masyarakat Sabu Raijua bukanlah hubungan formal semata, tetapi ikatan emosional yang mendalam, yang akan terus terjalin sepanjang perjalanan hidupnya.
Dengan komitmen yang kuat untuk menjaga tradisi dan memajukan NTT, Simon Petrus Kamlasi bukan hanya menjadi calon pemimpin, tetapi juga bagian dari keluarga besar orang Sabu Raijua, dengan nama baru yang penuh makna: Ma Pannu Pe.