MataTimor com, Soe, TTS – Ketua Forum Pemerhati Demokrasi (FPD), Dony Tanoen, menyampaikan kritik tajam terhadap kegagalan cairnya dana desa di sejumlah wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Menurutnya, persoalan ini mencerminkan kegagalan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) serta camat dalam membina dan memfasilitasi kepala desa (kades) beserta perangkatnya.
“Permasalahan ini bukan hal baru. BPMPD dan camat sebagai delegatif bupati seharusnya mampu membimbing kades dan perangkat desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Namun kenyataannya, peran ini tidak dijalankan dengan maksimal,” tegas Dony kepada wartawan, Jumat (20/12/2024).
Dony juga menyoroti peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya menjadi pengawas utama di tingkat desa. Ironisnya, menurut Dony, terdapat kasus di mana BPD justru ikut terlibat dalam pengelolaan keuangan desa, sehingga tugas pengawasan tidak terlaksana.
“BPD adalah pengawas penyelenggaraan pemerintahan dan keuangan desa, tetapi ada kasus di mana mereka malah terlibat dalam pengelolaan keuangan. Ini jelas menyalahi fungsi mereka,” ujarnya.
Selain itu, Dony mempertanyakan kinerja pendamping desa yang seharusnya melakukan sertifikasi terhadap setiap kegiatan, baik fisik maupun pemberdayaan.
“Bagaimana mungkin dana desa bisa dicairkan jika tidak ada pertanggungjawaban yang jelas? Sertifikasi apa yang digunakan untuk mengajukan permohonan ke kecamatan hingga mendapatkan rekomendasi ke BPMPD untuk penerbitan SP2D? Kalau ada dana yang cair tanpa pertanggungjawaban, ini kesalahan siapa?” sindirnya.
Terkait pemberhentian sementara 15 kepala desa, Dony mendukung langkah tersebut tetapi mengkritisi mekanismenya yang dianggap tidak adil. Menurutnya, pemberhentian hanya dilakukan terhadap kades, sementara perangkat desa lainnya, seperti sekretaris desa (sekdes) dan kepala urusan (kaur) keuangan, tidak mendapat sanksi yang sama.
“Sekdes adalah koordinator anggaran, dan kaur keuangan adalah pengelola keuangan. Jika kades diberhentikan karena masalah pengelolaan keuangan, mengapa mereka tidak ikut diberhentikan? Semua pihak yang terlibat seharusnya ikut bertanggung jawab,” tegas Dony.
Ia juga menilai bahwa pencopotan kepala desa di akhir tahun merupakan langkah yang tidak tepat waktu.
“Masalah ini sudah muncul sejak Juni, ketika dana tahap pertama sebesar 60% gagal cair. Mengapa tidak ada tindakan sejak saat itu? Ini menunjukkan lemahnya koordinasi,” tambahnya.
Dony menyoroti pelantikan penjabat (PJ) kepala desa di Desa Supul sebagai bukti lemahnya fasilitasi BPMPD dan camat. Ia menjelaskan bahwa pelantikan PJ Kades pada Februari 2024 hingga awal Desember 2024 tidak diikuti dengan proses serah terima yang jelas, sehingga PJ Kades tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
“Jika BPMPD dan camat tidak bisa mengamankan SK Bupati terkait pelantikan PJ Kades, bagaimana desa bisa berjalan dengan baik? Hasil BAP yang dilakukan sejak Juni juga tidak terlihat tindak lanjutnya. Mengapa hanya kades yang dianggap bertanggung jawab, padahal banyak faktor lain yang memengaruhi?” ungkapnya.
Dony juga memberikan contoh Desa Fatu Oni, di mana kepala desa telah melengkapi semua dokumen, tetapi pegawai yang bertugas memposting data tidak berada di tempat.
“Apakah ini juga salah kepala desa? BPMPD jangan berlagak seperti malaikat atau bersikap seperti Pilatus yang cuci tangan. Mereka harus malu karena gagal menjalankan pembinaan,” katanya tegas.
Menutup pernyataannya, Dony menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana desa. Ia menekankan pentingnya transparansi, koordinasi, dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi masalah ini dan mencegah kasus serupa di masa mendatang.
“Permasalahan ini tidak akan selesai jika hanya kepala desa yang disalahkan. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua,” pungkasnya.