MataTimor.com – TTS – Sebanyak 44 tenaga outsourcing yang bekerja di DPRD TTS menghadapi ketidakpastian nasib. Hingga kini, mereka tidak terdaftar dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan belum memiliki kontrak kerja yang jelas sejak Januari 2025. Kondisi ini memicu kekhawatiran besar, karena tanpa perlindungan jaminan sosial dan kepastian hukum, mereka rentan terhadap risiko kecelakaan kerja dan ketidakjelasan pembayaran upah. Ketua Forum Peduli Demokrasi Timor (FPDT), Doni Tanoen, mendesak Sekretaris DPRD TTS dan PT Trigama Grup untuk bertanggung jawab. Ia bahkan siap membawa kasus ini ke jalur hukum jika hak-hak tenaga outsourcing terus diabaikan.
Ketua Forum Peduli Demokrasi Timor (FPDT), Doni Tanoen, secara tegas mempertanyakan kejelasan jaminan sosial bagi 44 tenaga outsourcing yang bekerja di DPRD TTS. Ia menyoroti dugaan kelalaian Sekretaris DPRD TTS dan PT Trigama Grup dalam memenuhi kewajiban mendaftarkan tenaga kerja ke BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Doni, tenaga outsourcing berhak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana pekerja tetap, termasuk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Namun, hingga kini, kejelasan terkait kepesertaan dan iuran BPJS bagi 44 pekerja outsourcing tersebut masih dipertanyakan.
Doni menegaskan bahwa pemberi kerja memiliki kewajiban hukum untuk mendaftarkan tenaga outsourcing ke BPJS Ketenagakerjaan. Jika kewajiban ini diabaikan, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi administratif, bahkan pencabutan izin usaha sesuai dengan PP No. 86 Tahun 2013.
“Bagaimana mungkin mereka mempekerjakan orang lain sebagai tenaga outsourcing, tetapi tidak memberikan jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan kecelakaan kerja, serta jaminan hari tua? Kemana anggaran BPJS untuk 44 orang ini? Jika ada anggarannya, kenapa BPJS mereka tidak dibayarkan?” tegas Doni.
Ia menyoroti risiko besar yang dihadapi para tenaga outsourcing jika terjadi kecelakaan kerja atau musibah. Tanpa kepesertaan BPJS yang aktif, mereka tidak akan bisa mengajukan klaim asuransi.
“Kasihan mereka kalau BPJS tidak dibayarkan. Kalau besok terjadi sesuatu di luar dugaan, mereka tidak bisa klaim asuransi. Ini kelalaian serius!” ujarnya.
Doni juga mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2025, tenaga outsourcing tersebut bahkan belum mendapatkan kontrak kerja. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana dasar hukum mereka menerima gaji?
“Dari 2019-2020 mereka sudah bekerja, tapi sampai sekarang belum ada kepastian BPJS. Bahkan sejak Januari 2025 hingga Maret 2025, mereka belum memiliki kontrak kerja. Lalu bagaimana mereka bisa menerima upah? Apa dasar hukumnya?” kritiknya.
Atas permasalahan ini, FPDT memastikan akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Doni menegaskan bahwa ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga perbuatan melawan hukum yang merugikan 44 tenaga outsourcing.
“Saya pastikan FPDT akan membawa persoalan ini ke jalur hukum. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga perbuatan melawan hukum yang merugikan saudara-saudara kita, tenaga outsourcing yang bekerja tanpa kepastian haknya,” tegasnya.
Doni mengingatkan bahwa sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/1999, pekerja lepas yang telah bekerja selama tiga bulan berturut-turut wajib mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi DPRD TTS dan PT Trigama Grup untuk mengabaikan kewajiban ini.
FPDT mendesak Sekretaris DPRD TTS dan PT Trigama Grup segera memberikan kejelasan terkait iuran BPJS yang seharusnya diterima para pekerja outsourcing. Jika tidak ada tanggapan, maka FPDT siap mengambil langkah hukum untuk memastikan hak-hak pekerja outsourcing terpenuhi.
“Kami tidak akan tinggal diam. Hak tenaga outsourcing harus dilindungi!” pungkas Doni.