mataTimor.com – TTS – Kontroversi rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) terus bergulir. Kali ini, dugaan pelanggaran muncul dari Sekretariat DPRD TTS yang dituding melakukan manipulasi data dalam Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) untuk meloloskan tenaga outsourcing ke dalam seleksi PPPK.
Namun, ketika dimintai tanggapan terkait dugaan tersebut, Sekretaris DPRD TTS, Alberth D. I. Boimau, memilih bungkam. Saat dihubungi wartawan pada Kamis, 13 Februari 2025, ia hanya memberikan jawaban singkat: “No comment.”
Sebelumnya, muncul pertanyaan besar mengenai keabsahan data tenaga non-ASN yang digunakan oleh Sekretariat DPRD TTS. Sejumlah tenaga outsourcing yang sebelumnya tidak terdaftar sebagai tenaga non-ASN, tiba-tiba masuk dalam database setelah adanya seleksi PPPK.
Iswandy Godlief Dominggus Lona, mantan tenaga outsourcing di Sekretariat DPRD TTS periode 2020–2023, mengaku mengetahui dengan jelas siapa saja yang pernah bekerja di lingkungan DPRD.
“Saya bekerja tiga tahun sebagai tenaga outsourcing melalui PT Trigama Group. Saya tahu siapa saja yang bekerja dan siapa yang tidak. Tapi tiba-tiba ada nama-nama baru yang muncul sebagai tenaga non-ASN di DPRD. Ini sangat janggal,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana tenaga outsourcing bisa beralih status menjadi tenaga non-ASN, mengingat aturan sejak 2022 telah melarang perekrutan tenaga honorer baru.
“Sejak 2022, pemerintah sudah melarang rekrutmen tenaga honorer atau non-ASN. Jadi bagaimana mungkin mereka bisa beralih status? Ini bukan soal iri atau benci, tapi di mana keadilan bagi masyarakat yang juga membutuhkan pekerjaan?” tegas Iswandy.
Ketua Forum Pemerhati Pembangunan dan Demokrasi Timor, Doni Tanoen, menilai jika dugaan manipulasi SPTJM ini benar terjadi, maka itu bisa dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen yang melanggar aturan seleksi PPPK.
“Mereka ini bukan tenaga honorer, melainkan tenaga kontrak dari pihak ketiga. Jika status mereka baru dialihkan ke tenaga honor sejak 1 Januari 2024, maka mereka belum memenuhi syarat minimal dua tahun kerja sesuai aturan. Jangan sampai aturan ini hanya berlaku bagi honorer di DPRD, sementara di luar DPRD tidak,” tegas Doni.
Ia juga mengkritik DPRD yang terkesan diam ketika dugaan pelanggaran ini terjadi di lingkungan mereka sendiri.
“Saat ada kepala sekolah yang membuat SPTJM untuk pelamar yang tidak memenuhi syarat, DPRD langsung memanggil BKPSDMD dan Dinas Pendidikan untuk RDP. Tapi kenapa ketika ini terjadi di Sekretariat DPRD, tidak ada RDP?” kritiknya.
Doni memperingatkan bahwa jika dugaan ini tidak ditindaklanjuti, pihaknya siap membawa kasus ini ke ranah hukum.
“Siapa pun yang mengeluarkan SPTJM harus bertanggung jawab secara hukum. Jika nanti para tenaga outsourcing ini tidak lulus atau dianulir dari seleksi PPPK, maka DPRD harus memberikan solusi agar mereka tetap bisa bekerja,” pungkasnya.
Kepala BKPSDMD Kabupaten TTS, Dominggus Banunaek, membenarkan bahwa tenaga outsourcing di DPRD TTS telah dialihkan menjadi tenaga honorer sejak 2022/2023. Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada perekrutan tenaga honorer baru dalam periode tersebut.
“Sesuai hasil klarifikasi kami dengan Komisi I DPRD TTS, status mereka sudah dialihkan ke tenaga honorer sejak 2022/2023. Namun, tenaga outsourcing memang tidak bisa langsung mengikuti seleksi PPPK,” jelasnya.
Ketika kembali dikonfirmasi, Sekretaris DPRD TTS, Alberth D. I. Boimau, memilih untuk tetap diam. Ia menyatakan masih perlu berkoordinasi dengan pimpinan DPRD sebelum memberikan tanggapan resmi.
Namun, dalam rapat klarifikasi dengan Komisi I DPRD TTS, muncul informasi bahwa Sekwan sempat menyebut dugaan manipulasi ini sebagai “bahasa media”, yang kemudian ia minta agar tidak dipublikasikan.
Saat wartawan kembali menghubunginya pada Kamis, 13 Februari 2025, Boimau tetap pada sikapnya. Dalam pesan singkat, ia hanya menulis dua kata: “No comment.”