Kupang – MataTimor.com –
Oleh : Dr. Franchy Christian Liufeto
Akademisi Pada Fakultas Peternakan Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang NTT
Dari Pulau Rote, tempat matahari pertama kali menyapa Indonesia, sesungguhnya telah lama terpendam potensi besar yang belum sepenuhnya disentuh yaitu garam. Tapi bagi saya, garam di Rote Ndao bukan sekadar bahan dapur atau komoditas industri. Garam dari Rote adalah kristalisasi dari tantangan geopolitik, ketimpangan pembangunan, dan harapan tentang kemandirian ekonomi bangsa.
Rote bukan hanya pulau terluar sebab Rote adalah benteng ekonomi dan budaya yang berdiri kokoh di perbatasan Indonesia dan Australia. Lebih dari 5.000 hektare lahan potensial garam dengan tingkat evaporasi alami yang ideal, curah hujan rendah, serta sinar matahari sepanjang tahun menjadikan Rote sebagai laboratorium alami produksi garam. Satu hektare bahkan dapat menghasilkan lebih dari 100 ton per tahun, angka yang menakjubkan jika kita serius membangun sistemnya.Pada tahun 2019 yang lalu saya bersama seorang petani garam dan pengolah garam konsumsi Bapak Haji Umar di Papela, Rote Timur, melakukan perbincangan dan mengungkap harapan agar suatu saat produksi garam pada lahan yang ada dan tersebar ini mendapat perhatian sebab kebutuhan akan garam untuk ikan asin, pengolahan cumi dan teripang cukup tinggi dan mengalami kekurangan.
Memang, potensi tidak serta-merta menjadi kekuatan jika tidak diorkestrasikan dalam strategi nasional. Indonesia hingga hari ini masih mengimpor lebih dari 2 juta ton garam industri per tahun. Suatu ironi mengingat negeri ini adalah negara maritim tropis terbesar di dunia.
Kunjungan dan berbagai pernyataan Presiden Prabowo yang menyoroti urgensi substitusi impor garam industri, yang masih melebihi 2 juta ton per tahun terkait garam serta kehadiran Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono di Daiama Rote Ndao hari ini 3 Juni 2025. Kehadiran MKPmenjadi titik balik penting, bukan seremonial, sebab menjadi pengakuan bahwa Rote bisa dan harus menjadi pemain utama dalam peta pergaraman nasional sebab Rote Ndao menjadi calon kawasan sentra industry garam nasional untuk mencapai target swasembada garam pada 2027 nanti sebab secara keseluruhan volume produksi diatas lahan ini ditargetkansebesar 2,6 juta ton per tahun dengan nilai produksi Rp 2,6 triliun per tahun.
Kehadiran MKP menegaskan bahwa wilayah ini bukan hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga geopolitik. Dengan posisi geografis yang langsung berbatasan dengan Australia, Rote menjadi simbol sekaligus substansi ketahanan ekonomi nasional dari wilayah terdepan, bahkan menjadi alat diplomasi ekonomi dari batas selatan negara.
Pendekatan berbasis comparative advantage, location theory, hingga cluster development telah lama disuarakan dalam banyak forum pembangunan daerah. Rote memiliki seluruh komponen: sumber daya alam unggulan, lokasi strategis di jalur perdagangan Indo-Pasifik, dan semangat lokal yang tidak pernah padam.
Yang lebih penting dari ini adalah pembangunan sektor garam di perbatasan bukan semata urusan ekonomi, tetapi urusan kedaulatan. Ketika masyarakat di perbatasan melihat negara hadir melalui investasi, infrastruktur, dan riset, maka kepercayaan masyarakat tumbuh. Mereka tidak lagi memandang laut sebagai pemisah, tapi sebagai penghubung. Garam, dalam konteks ini, menjadi simbol dari sesuatu yang lebih besar: kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari warganya.
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao tentu perlu menata regulasi perlindungan lahan garam, dan mendukung desain jalur distribusi, serta membangun kemitraan dengan koperasi dan pelaku UMKM. Uji tekstur tanah di Daiama juga akan menjadi langkah awal penting, bukan hanya untuk kepastian teknis, tapi juga untuk mengirim pesan bahwa proses ini ilmiah, terencana, dan melibatkan rakyat.
Ke depan, saya memandang pengembangan industri garam Rote harus berada dalam skema “Industri Strategis Berbasis Perbatasan”, dengan dukungan regulasi afirmatif dari pusat, insentif fiskal, dan keberpihakan pada petani lokal. Jangan sampai garam Rote hanya dikuras sebagai bahan baku lalu nilainya dinikmati di luar. Rote berhak atas hilirisasi.
Kita tidak boleh ragu membangun pabrik pencucian garam, sistem irigasi modern, bahkan kawasan industri mikro yang dikelola koperasi petani. Apalagi di tengah ketegangan geopolitik global, dunia butuh pasokan garam berkualitas tinggi untuk farmasi dan pangan, dan Indonesia tidak boleh absen dari rantai nilai itu.
Hari ini, 5 tahun kemudian, harapan saya dengan alamarhum pak Haji Umar tidak lagi berdiri sendiri. Garam Rote kini dibicarakan dalam meja rapat nasional, dikunjungi Menteri dan dipetakan sebagai bagian dari kemandirian industri strategis. Sebagai akademisi dan anak bangsa yang lahir dari wilayah perbatasan, saya percaya: Rote adalah masa depan jika kita mampu melihatnya lebih dari sekadar pulau kecil. Ia adalah simbol kebangkitan dari pinggiran. Dari secuil kristal putih itu, kita bisa menulis ulang kisah Indonesia sebagai bangsa yang berdiri di atas sumber dayanya sendiri. Kristal kecil itu kini menyala lebih terang, bukan hanya untuk Rote tetapi untuk Indonesia.