Saat Pemimpin Lebih Memilih Warga Daripada Panggung Debat

oleh -Dibaca 525 Kali
Reporter: Rhey Natonis
FB IMG 1730820586085

MataTimor.com – Flotim – Pada malam yang gelap dan penuh kesunyian di Flores Timur, tepatnya pada 5 November 2024, ada sebuah pemandangan yang menyentuh hati banyak orang. Di tengah bencana yang melanda, seorang calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Simon Petrus Kamlasi, terlihat berjalan dengan penuh ketulusan menyusuri camp pengungsian di Desa Konga, Kecamatan Titehena. Keberadaannya di sana bukan hanya sebagai seorang politisi, tetapi lebih sebagai seorang pemimpin yang benar-benar peduli kepada rakyat yang sedang menderita akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki.

Malam itu, bukanlah waktu yang tepat untuk berpidato di panggung debat atau bersaing dengan calon lain untuk menarik perhatian. Sebaliknya, Simon memilih untuk hadir langsung di tengah-tengah warga yang tengah berjuang dalam keadaan serba kekurangan. Meskipun lelah setelah menjalani jadwal kampanye yang padat, ia tetap melangkah dengan penuh semangat untuk menemui pengungsi-pengungsi yang sebagian besar adalah wanita, anak-anak, dan lansia yang telah kehilangan tempat tinggal, serta sumber penghidupan mereka.

Simon tidak datang dengan janji-janji kosong atau kata-kata manis yang hanya untuk menarik simpati. Ia datang dengan hati yang tulus, penuh empati, dan komitmen yang kuat untuk membantu. Dengan pandangan penuh perhatian, ia menyapa satu persatu pengungsi, mendengarkan keluh kesah mereka, dan mencatat dengan seksama apa saja yang mereka butuhkan.

Keadaan di pengungsian, dengan tenda-tenda darurat dan fasilitas yang terbatas, memang cukup menggugah perasaan siapa saja yang menyaksikannya. Air mata tidak bisa dibendung oleh Simon ketika ia melihat betapa beratnya kehidupan mereka. Tetapi, meskipun dihantui rasa haru, ia tetap tegar dan bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi mereka yang terkena dampak bencana.

“Bapa mama bersabar ya, kita doakan bencana ini cepat berakhir. Saya ada di sini untuk melihat apa yang harus segera kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar selama di pengungsian ini,” kata Simon dengan suara bergetar, namun penuh ketegasan. Dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya, terpatri niat tulus untuk memastikan bahwa mereka yang berada di pengungsian tidak akan terabaikan. Ia mencatat kebutuhan mendesak seperti air bersih, sanitasi, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Dengan serius, ia berkomitmen untuk memastikan bahwa bantuan akan datang tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Bagi warga yang terjebak dalam kesulitan dan kehilangan, kehadiran Simon memberikan secercah harapan. Salah satunya adalah Yuliana Julilewar, seorang pengungsi yang sempat bertemu dengan Simon. “Terima kasih bapak, kita tidak saling kenal, tapi bapak datang menjenguk kami. Bapak akan selalu ada di hati kami,” ucap Yuliana sambil menahan tangis. Ungkapan itu datang dari lubuk hati yang terdalam, karena bagi mereka, perhatian dan kedatangan seorang calon pemimpin yang bersedia berjuang bersama mereka memberikan makna yang jauh lebih besar daripada sekadar janji kampanye.

Kisah seperti ini adalah kisah yang jarang terdengar di dunia politik, di mana seorang calon gubernur lebih memilih berada di lapangan, bertatap muka dengan rakyatnya yang sedang menderita, daripada bersaing di panggung debat yang penuh dengan strategi dan perhitungan politis. Simon memilih untuk mendengarkan suara hati rakyat dan menempatkan mereka di atas segala ambisi pribadi.

Keesokan harinya, Simon harus menghadapi salah satu momen penting dalam kampanye politiknya: debat calon gubernur. Tetapi, meskipun debat itu penting untuk menilai sejauh mana visi dan misi para calon, bagi Simon, ada yang jauh lebih mendesak dan lebih manusiawi untuk dilakukan.

Ketika ditanya oleh salah satu wartawan mengenai persiapannya untuk debat tersebut, Simon dengan tegas menjawab, “Batin saya tidak akan tenang kalau saya belum sampai ke sini lalu memamerkan segala kehebatan di panggung debat. Lebih baik mereka mengalahkan saya karena tidak siap daripada saya tampil memukau sementara saya belum datang melihat saudara saya yang sedang tertimpa bencana.”

Jawaban tersebut, meski sederhana, mencerminkan karakter sejati seorang pemimpin. Simon tidak melihat panggung debat sebagai ajang untuk menunjukkan kehebatan dirinya, tetapi lebih sebagai alat untuk menjelaskan visi kepada rakyat. Bagi Simon, pengungsi dan warga yang tengah dilanda bencana adalah prioritas utama, jauh di atas persaingan politik yang ada. Baginya, kepedulian terhadap rakyat lebih penting daripada mencari popularitas lewat debat atau kampanye.

Di tengah perjuangan warga yang kini tinggal di pengungsian, perjalanan Simon Petrus Kamlasi berlanjut ke desa-desa lainnya, seperti Desa Bokang Wolomatang dan Desa Lewolaga. Di sana, ia mendengarkan lebih banyak cerita pedih dari para korban yang kehilangan rumah dan mata pencaharian. Salah satu dari mereka, Yohanes Mawun Lewa, menceritakan kesulitan hidupnya. “Kami sekarang susah, rumah kami rusak, hasil panen dan ternak kami pun kami tinggalkan. Tidak tahu kami pulang nanti tinggal dimana, makan apa. Semua rusak bapak,” kata Yohanes sambil menatap Simon dengan penuh harap.

Dengan segala keterbatasannya, Simon mendengarkan, mencatat, dan berjanji akan terus berusaha untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan. “Kita akan lihat ini semua, kita harus memastikan bapa mama semua mendapat perhatian dan bantuan yang layak,” ujarnya, menegaskan komitmennya untuk tidak hanya memberikan janji, tetapi juga aksi nyata yang bisa mengurangi penderitaan mereka.

Di tengah tantangan besar yang dihadapi oleh warga NTT, kehadiran Simon Petrus Kamlasi bukan hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga memberi harapan dan kekuatan mental. Simon menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya berbicara tentang janji-janji, tetapi yang lebih penting adalah mereka yang hadir di tengah kesulitan, mendengarkan, dan bertindak sesuai dengan kebutuhan rakyatnya.

Seperti yang disampaikan oleh Yuliana Julilewar, meskipun perjalanan politik Simon mungkin penuh dengan lika-liku, kenangan tentang kehadirannya di tengah penderitaan warga NTT ini akan tetap hidup dalam hati mereka. “Bapak akan selalu ada di hati kami,” ucapnya. Ini adalah bentuk penghargaan yang lebih dalam dari sekadar suara di bilik pemilihan, karena sesungguhnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang meninggalkan jejak yang kuat di hati rakyatnya.

Dalam dunia politik yang kadang penuh dengan kalkulasi pragmatis dan ambisi pribadi, Simon Petrus Kamlasi memberikan contoh yang sangat sederhana namun bermakna mendalam tentang apa arti sesungguhnya dari kepemimpinan: hadir untuk rakyat, bukan untuk panggung debat.

 

 

CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.