MataTimor.com – OPINI – Di sebuah desa yang terletak di Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), terdapat sebuah nama yang tidak hanya menggambarkan sebuah tempat, tetapi juga sarat dengan makna yang dalam dan penuh simbolisme. Nama desa itu adalah Sunu. Bagi masyarakat setempat, kata “Sunu” bukan sekedar sebutan geografi, melainkan sebuah konsep yang mengandung filosofi hidup yang kaya. Jika diterjemahkan dalam bahasa Dawan, Sunu berarti sendok.
Pada pandangan pertama, mungkin kita akan bertanya, apa kaitan sendok dengan sebuah desa di pulau Timor? Tentu saja, pertanyaan ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang arti kata tersebut dalam budaya Dawan dan bagaimana hal itu berhubungan dengan perjalanan politik yang sedang berkembang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini.
Makna Filosofis di Balik Kata “Sunu”
Dalam bahasa Dawan, Sunu, yang berarti sendok, bukanlah sebuah benda biasa. Sendok, sebagai alat makan, memiliki banyak konotasi simbolis yang mendalam. Alat ini digunakan untuk menyuapi makanan ke mulut, memberi asupan kehidupan, dan menghubungkan individu dengan keberlanjutan hidup mereka. Dalam konteks yang lebih luas, sendok bisa dipandang sebagai simbol pemimpin yang memberi “makanan” atau kepemimpinan bagi masyarakatnya. Sebagai sebuah alat yang menghubungkan antara bahan makanan dan tubuh, sendok mewakili peran seorang pemimpin yang harus dapat menghubungkan kebutuhan rakyat dengan kebijakan dan tindakan yang mengarah pada kesejahteraan.
Ketika kita berbicara tentang Sunu dalam konteks politik NTT, maka makna dari kata tersebut semakin terasa relevansinya. Sebab, seperti sendok yang memberi makan, Sunu dapat dilihat sebagai simbol dari seorang pemimpin yang diharapkan dapat memberi kehidupan, kesejahteraan, dan kemajuan bagi seluruh masyarakatnya.
Simon Petrus Kamlasi: Menjawab Panggilan Sejarah
Dari desa Sunu inilah, lahir seorang tokoh penting yang kini tengah mencalonkan diri sebagai calon Gubernur NTT periode 2024-2029. Nama tersebut adalah Simon Petrus Kamlasi, seorang purnawirawan Jenderal Bintang Satu yang kini melangkah ke panggung politik dengan harapan membawa perubahan besar bagi daerah yang ia cintai. Simon Petrus Kamlasi muncul bukan hanya sebagai figur militer, tetapi sebagai seorang pemimpin yang ingin mewujudkan visi besar bagi NTT. Bersama Adrianus Garu, seorang putera Manggarai yang akan mendampinginya sebagai calon wakil gubernur, mereka mengusung paket “Siaga” dengan nomor urut 3.
Mengapa harus Simon Petrus Kamlasi? Sejarah NTT mencatat bahwa sejak provinsi ini berdiri pada tahun 1958, belum ada seorang pun dari suku Timor Dawan yang dipercaya memimpin NTT sebagai Gubernur. Inilah yang menjadi panggilan sejarah bagi Simon Petrus Kamlasi. Dengan semangat kepemimpinan yang telah terasah di dunia militer, Simon Petrus Kamlasi kini hadir untuk menjawab tantangan besar dan mengubah narasi politik NTT yang telah lama didominasi oleh figur-figur dari luar Pulau Timor.
Sunu dan Politik: Menghubungkan Harapan dengan Kepemimpinan
Jika kita kembali pada makna dari kata Sunu, yang berarti sendok, maka ada kaitan yang sangat erat antara simbolisme tersebut dengan misi politik Simon Petrus Kamlasi. Sunu sebagai sendok menggambarkan sebuah alat yang memberi makan dan menciptakan keterhubungan antara orang dengan kebutuhan hidupnya. Dalam konteks politik, ini berarti Simon Petrus Kamlasi datang untuk menjadi “sendok” bagi masyarakat NTT—menghubungkan kebutuhan rakyat dengan pemenuhan hak-hak dasar mereka, mulai dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga kesejahteraan sosial.
Bagi masyarakat Timor, ini adalah saat yang tepat untuk memiliki seorang pemimpin yang datang dari pulau mereka, yang memahami betul tantangan dan potensi lokal. Dengan Sunu sebagai simbol, Simon Petrus Kamlasi diharapkan bisa mengubah cara pandang politik yang selama ini terpusat pada kepentingan luar, dan mulai membawa kemajuan yang bersifat merata bagi seluruh rakyat NTT.
Sunu, Sendok, dan Harapan Baru bagi NTT
Dengan munculnya paket Siaga, Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu menawarkan visi baru bagi NTT. Mereka bukan hanya menawarkan janji perubahan, tetapi juga mengusung semangat untuk melayani rakyat dengan tulus. Seperti halnya sendok yang tidak bisa makan sendiri, seorang pemimpin sejati adalah mereka yang melayani rakyat, yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas segalanya.
Melalui pencalonan ini, Sunu menjadi lebih dari sekadar nama desa atau alat makan. Ia menjadi simbol dari harapan dan aspirasi masyarakat Timor untuk mendapatkan pemimpin yang mampu “memberi makan” atau memberi solusi bagi tantangan hidup mereka. Dengan latar belakang militer yang kuat, pengalaman dalam memimpin, dan kedekatannya dengan masyarakat Timor, Simon Petrus Kamlasi berkomitmen untuk menjadikan NTT lebih baik, lebih maju, dan lebih sejahtera.
Provinsi NTT telah lama menunggu momen ini—momentum ketika seorang putera Timor akan memimpin daerah ini. Seperti sendok yang digunakan untuk menyuapi makanan, kini saatnya Simon Petrus Kamlasi hadir untuk menyuapi harapan rakyat NTT, memberikan arah baru, dan memimpin provinsi ini menuju masa depan yang lebih cerah. Sunu, dengan makna filosofisnya yang dalam, kini menjadi simbol kebangkitan, sebuah alat yang akan digunakan untuk menciptakan perubahan yang berarti bagi seluruh masyarakat NTT.
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.