Kisah Pilu Dua Anak Tanpa Identitas dari Pelosok Ayotupas

Foto Istimewa, Adhi dan Oliva Bien, dua kakak-beradik dari Ayotupas, NTT, menatap masa depan dengan harapan tipis namun tekad besar. Tanpa akta lahir dan kartu keluarga, mereka berjuang melawan sistem demi satu cita-cita sederhana, tetap bisa sekolah.
Shares

TTS – MataTimor.com – Di sudut kecil Nusa Tenggara Timur, tersembunyi sebuah cerita yang tak pernah masuk dalam buku pelajaran atau siaran berita nasional. Cerita ini tidak meledak di headline besar, tidak ramai diperbincangkan di media sosial. Namun di sanubari mereka yang masih menyimpan rasa kemanusiaan, kisah ini memanggil: tentang dua anak, dua jiwa muda yang tengah bertarung bukan melawan peluru, tapi melawan sunyi, sistem, dan takdir.

Di Ayotupas, sebuah wilayah terpencil di Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, hidup dua anak yang sedang memperjuangkan hak paling dasar seorang manusia, hak untuk diakui dan hak untuk bermimpi. Mereka adalah Adhi Saputra Bien, 15 tahun, dan adiknya Oliva Bien, 11 tahun. Dua nama kecil dari pelosok negeri yang seharusnya menjadi siswa biasa, kini justru harus menjadi pejuang tanpa pelindung.

Tahun 2020, pada sebuah Jumat yang seharusnya penuh berkah, doa, dan harapan, justru menjadi awal luka panjang bagi Adhi dan Oliva. Hari itu, ibu mereka, Gresinta Zakarias, pergi. Tanpa pamit. Tanpa jejak. “Mama jalan tidak kasih tahu, mama mau ke mana,” ujar Adhi, suaranya gemetar, matanya berkaca-kaca.

Kepergian sang ibu adalah awal dari seribu badai. Rumah yang pernah menjadi tempat berlindung, kini menjadi saksi bisu luka masa lalu. Rumah itu pernah dipenuhi kekerasan dalam rumah tangga. Kepergian sang ibu bukan akhir dari penderitaan, justru menjadi pintu bagi derita yang lebih sunyi, lebih menyakitkan karena kini mereka tak hanya kehilangan kasih ibu, tapi juga kehilangan arah dan identitas.

Sang ayah, Oktovianus Bien, mencoba menjadi tiang penyanggah. Berpindah-pindah kerja di kota Betun, hingga akhirnya kembali ke Ayotupas bersama kedua anaknya. Mereka hidup menumpang, dalam kondisi serba terbatas. Tak ada rumah sendiri. Tak ada jaminan. Dan yang paling tragis, tak ada Kartu Keluarga dan Akta Lahir.

Adhi dan Oliva adalah warga negara yang tidak pernah benar-benar diakui keberadaannya secara administratif. Mereka tidak bisa mendaftar sekolah dengan normal. Tidak bisa mengurus ijazah. Tidak bisa berbuat apa-apa tanpa segelintir dokumen yang hanya selembar, namun menentukan nasib seumur hidup.

“Kalau bapak ada, dia yang masak. Tapi kalau tidak, saya yang masak untuk makan siang saya dan adik,” kata Adhi, polos.

Di usia 15 tahun, Adhi bukan hanya siswa. Ia juga menjadi koki keluarga, pelindung, penghibur, dan penjaga adiknya. Sementara Oliva, gadis kecil yang seharusnya bermain boneka dan berlari di halaman sekolah, justru sibuk membantu pekerjaan rumah. Mencuci piring. Menyapu lantai. Mempersiapkan kehidupan yang terlalu berat bagi usia mereka.

Baca Juga  Sambut Imlek 2025, FPDT: Saatnya Merajut Harmoni untuk Kemajuan TTS dan Indonesia

Terkadang, setelah pulang sekolah, Oliva menyempatkan diri membantu para pedagang di pasar. Ia mendapat upah Rp 10.000 hingga Rp 20.000 dari hasil bantu-bantu mengangkat dan mengemas barang. Sebuah perjuangan kecil yang bagi mereka berarti: bisa membeli buku, alat tulis, atau sekadar makan layak.

Masalah tak berhenti di situ. Ketika hendak melanjutkan sekolah, Adhi dan Oliva dihadapkan pada tembok tinggi bernama prosedur hukum. Untuk mendapatkan akta kelahiran dan memperbaiki penulisan nama, mereka harus bersidang di Pengadilan Negeri Atambua. Semua itu karena kedua orang tua mereka belum pernah menikah secara resmi.

Adhi dan Oliva, dua anak polos dari pedalaman Ayotupas, kini dituntut berurusan dengan hukum padahal yang mereka inginkan hanyalah: tetap duduk di bangku sekolah.

“Cukup tamat SMA. Tapi kalau dokumen kami tidak lengkap, kami tidak tahu harus bagaimana,” lirih Adhi.

Hanya karena tak punya kartu keluarga, mereka terancam tidak mendapatkan ijazah. Hanya karena tak punya akta lahir, mereka ditolak saat mendaftar sekolah. Hukum yang dingin dan prosedur yang kaku berdiri di depan mereka, menghalangi hak yang seharusnya diberikan tanpa syarat: hak atas pendidikan.

Di mana negara ketika dua anak tak bisa bersekolah hanya karena tidak punya selembar kertas? Di mana para pemangku kebijakan ketika anak-anak seperti Adhi dan Oliva dipaksa memilih antara mimpi dan prosedur?

Ini bukan soal administrasi. Ini soal kemanusiaan. Ini bukan soal akta dan KK. Ini soal hak anak untuk hidup, tumbuh, dan bermimpi.

Apa salah mereka lahir dari keluarga yang gagal? Apa salah mereka jika tak punya uang untuk membayar pengacara? Adhi dan Oliva bukan ingin berdiri di depan majelis hakim. Mereka ingin berdiri di depan papan tulis. Mereka bukan ingin mendengar vonis, mereka ingin mendengar penjelasan matematika dan IPA.

Kini Adhi bersiap memakai seragam putih abu-abu. Oliva ingin mengenakan biru-putih. Seharusnya ini menjadi awal masa depan mereka. Tapi yang mereka hadapi justru: ancaman putus sekolah.

Baca Juga  Melky Nenometa Desak Pemda TTS Beri Sanksi Tegas kepada Kepsek-Kepsek Nakal di TTS Jika Terbukti Bersalah

Mereka tidak butuh simpati kosong. Mereka butuh dukungan nyata.

“Kami hanya ingin sekolah,” kata Oliva, menunduk.

Dan di balik ucapan sederhana itu, tersimpan jeritan dari ratusan, bahkan ribuan anak lain yang bernasib sama. Anak-anak yang ingin dikenali, ingin diakui, dan ingin didampingi bukan diadili.

Bayangkan, hanya karena tak punya akta kelahiran dan kartu keluarga, mereka bisa kehilangan hak untuk belajar.

Bayangkan, anak-anak seusia mereka harus menghadapi persidangan, hanya agar diakui keberadaannya di negeri sendiri.

Adhi dan Oliva butuh kita. Butuh hati nurani. Butuh tangan yang menjangkau dan berkata: kalian tidak sendiri.

Kami dari redaksi matatimor.com mengajak kita semua :

🔸 Jika kita seorang pengacara, bantu mereka menghadapi proses hukum tanpa bayaran.

🔸 Jika Kita seorang pegiat sosial, bantu suarakan kisah mereka agar didengar pemerintah.

🔸 Jika kita seorang pejabat atau aparatur negara, sederhanakan jalan mereka untuk mendapat dokumen identitas.

🔸 Jika kita seorang pendidik, pastikan sekolah tak menjadi ruang tertutup bagi anak-anak tanpa dokumen.

🔸 Jika kita adalah siapa pun yang peduli, bantu dengan dukungan moral, logistik, dana pendidikan, atau jaringan kita untuk membawa perubahan bagi mereka.

Hari ini, kita mungkin makan tiga kali sehari, punya rumah, punya keluarga. Tapi di tempat lain, dua anak tengah bertanya dalam hati:

“Apakah kami tidak berhak sekolah hanya karena kami tidak punya selembar kertas?”

Jangan biarkan Adhi dan Oliva berjuang sendirian.

Mari kita buktikan bahwa Indonesia masih punya hati.

Bantu mereka, karena anak-anak tidak seharusnya kalah oleh sistem.

Bantu mereka, karena pendidikan adalah hak, bukan kemewahan.

Bantu mereka, karena cinta dan kepedulian adalah bahasa yang paling universal.

Untuk informasi bantuan lebih lanjut, donasi, atau dukungan hukum dan sosial, silakan hubungi kontak yang telah ditentukan oleh redaksi matatimor.com 

082235493335.