D’Boimau Kembali ke Tanah Kelahiran : Mendengar, Merangkul dan Berjuang untuk Rakyat

oleh -Dibaca 277 Kali
oleh
IMG 20250317 WA0151

MataTimor.com – TTS – Di bawah langit biru yang membentang luas di Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), langkah seorang pria 49 tahun membawa harapan bagi masyarakat. David Imanuel Boimau, atau yang akrab disapa D’Boi, kembali ke tanah kelahirannya. Namun, kali ini ia bukan sekadar putra daerah yang pulang kampung—ia datang dengan tanggung jawab yang lebih besar sebagai anggota DPRD Provinsi NTT.

Dulu, ia melayani masyarakat sebagai anggota DPRD Kabupaten TTS selama tiga periode. Kini, dengan tagline “D’Boimau Naik Kelas”, ia hadir di tingkat yang lebih tinggi, membawa aspirasi rakyatnya ke level provinsi. Tapi satu hal yang tetap sama: ia tetap D’Boi yang dekat dengan rakyat, yang selalu ingin mendengar langsung suara mereka.

Dalam perjalanan resesnya ke beberapa desa di Kolbano, Pene, Se’i, Oeleu, hingga Amanuban Tengah, ada satu keluhan yang nyaris terdengar di setiap tempat yang ia kunjungi: jalan rusak yang menghambat kehidupan masyarakat.

Di ruas Batuputih-Panite, Panite-Kolbano, hingga Kolbano-Boking-Malaka, lubang menganga dan genangan air di musim hujan menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Bukan hanya kendaraan yang kesulitan melintas, tapi roda ekonomi masyarakat pun tersendat.

“Pak, kami ini petani. Kalau jalan begini terus, bagaimana hasil panen kami bisa sampai ke pasar? Hasil bumi kami turun harga karena susah dijual,” keluh seorang warga di Desa Pene yang setiap hari harus menghadapi kondisi jalan yang memprihatinkan.

Bagi sebagian orang, jalan hanyalah infrastruktur. Tapi bagi mereka, jalan adalah harapan—harapan agar hasil kerja keras mereka bisa sampai ke tangan pembeli, agar anak-anak bisa pergi ke sekolah tanpa harus menempuh perjalanan berat, agar hidup mereka bisa lebih mudah.

Tak hanya jalan yang rusak, warga di Kecamatan Kualin dan Kolbano menghadapi ketakutan lain: banjir yang terus datang setiap musim hujan. Tanpa sistem drainase yang baik, air yang seharusnya mengalir ke laut justru meluap ke pemukiman, merendam rumah-rumah, dan meninggalkan trauma bagi banyak keluarga.

“Kami butuh drainase, Pak. Setiap hujan deras, kami tidak bisa tidur nyenyak, takut air naik dan merusak rumah,” kata seorang ibu di Desa Kolbano, matanya penuh kekhawatiran.

D’Boi mendengar, mencatat, dan berjanji akan membawa persoalan ini ke meja pemerintah. Karena rumah bukan sekadar tempat tinggal—ia adalah tempat di mana sebuah keluarga membangun masa depan.

Di pesisir selatan, nelayan berjuang menghadapi ombak. Namun, perjuangan mereka semakin berat karena alat tangkap yang minim. Tanpa kapal, ketinting, dan jaring yang layak, hasil tangkapan mereka tak menentu, membuat penghasilan mereka tidak stabil.

“Laut ada, ikan ada, tapi alat tidak ada. Kami mau bagaimana?” tanya seorang nelayan di Kolbano dengan nada pasrah.

Laut yang membentang luas seharusnya menjadi sumber kehidupan, bukan sekadar tempat mencari peruntungan tanpa kepastian. D’Boi memahami bahwa nelayan tidak hanya butuh janji—mereka butuh solusi.

Di pedesaan, petani tetap bekerja keras, tetapi hasil yang mereka dapatkan tidak selalu sepadan. Mereka membutuhkan alsintan dan bibit unggul untuk meningkatkan panen. Namun, yang lebih menyakitkan adalah ketika harga hasil bumi jatuh tanpa kendali.

“Harga naik turun, Pak. Kadang kami rugi, kadang untung sedikit. Kami ingin ada kepastian,” kata seorang petani di Desa Taebesa.

D’Boi tahu, stabilitas harga adalah kunci kesejahteraan petani. Tanpa intervensi pemerintah, mereka terus hidup dalam ketidakpastian, di tengah kerja keras yang tak pernah berhenti.

Bagi banyak orang tua di pedesaan, pendidikan adalah satu-satunya jalan agar anak-anak mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, program Beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) yang belum cair membuat banyak siswa di daerah ini terancam putus sekolah.

“Kami hanya ingin anak-anak kami tetap sekolah. Tapi kalau beasiswa tidak turun, bagaimana kami bisa bayar?” ungkap seorang ayah di Desa Pana.

Di samping itu, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan bisa membantu anak-anak mendapatkan asupan yang lebih baik. Warga berharap program ini menggunakan produk lokal, agar ekonomi petani dan peternak juga ikut terbantu.

Mendengar semua keluhan ini, David Imanuel Boimau tidak tinggal diam. Ia berjanji bahwa semua aspirasi akan dibawa dalam laporan hasil reses DPRD dan diperjuangkan hingga menjadi kebijakan nyata.

“Saya akan memastikan semua keluhan ini tidak hanya berhenti di laporan, tetapi benar-benar masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggaran,” tegasnya saat diwawancarai pada Senin, 17 Maret 2025.

Ia juga mendorong pemerintah provinsi untuk mengalokasikan anggaran yang memadai guna mengatasi permasalahan ini. Jika tidak bisa ditangani di tingkat provinsi, ia siap memperjuangkannya hingga ke pemerintah pusat.

Masyarakat menyambut baik reses yang dilakukan D’Boi. Mereka berharap, perjuangan ini bukan hanya sebatas kata-kata, tetapi benar-benar menjadi aksi nyata.

Di pelosok desa, di jalan-jalan berlubang, di rumah-rumah yang terancam banjir, ada harapan yang masih menggantung. Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah.

Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal yang pasti, David Imanuel Boimau tidak akan berhenti berjuang.