Tambah Rombel: Jawaban Kebutuhan Siswa dan Guru Sekaligus

Opini – MataTimor.com – 

Oleh: Jacob Yuzh Nalle

Tahun ajaran baru telah dimulai. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, masih ada anak-anak kita yang belum juga mendapatkan sekolah. Sejumlah orang tua yang kami temui mengeluh dengan cemas: anak mereka belum diterima di sekolah mana pun di tingkat SMA/SMK, padahal pendaftaran telah ditutup. Ini bukan semata-mata soal terlambat mendaftar atau kekurangaktifan orang tua. Masalahnya jauh lebih kompleks—dan inilah yang membuatnya mendesak untuk segera diselesaikan secara sistemik oleh Dinas Pendidikan Provinsi.

Masalah Sistem Pendaftaran dan Ketimpangan Domisili

Kita perlu mencermati bahwa saat ini istilah zonasi sudah diganti menjadi domisili, namun semangatnya masih serupa: mengatur penerimaan siswa baru berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Sayangnya, praktik di lapangan masih menyisakan banyak ketimpangan.

Ada ketidakseimbangan dalam jumlah kelurahan yang dimasukkan ke dalam satu domisili sekolah. Misalnya, SMA 1 Kupang memiliki lebih banyak kelurahan dalam cakupan domisili 1 dibandingkan SMA 3 atau SMA 5, padahal secara geografis, wilayah Oebufu dan sekitarnya memiliki lebih banyak sekolah. Ketimpangan ini menyebabkan daya tampung tidak sebanding dengan permintaan, dan pada akhirnya membuat banyak siswa tidak tertampung meskipun secara lokasi mereka dekat dengan beberapa sekolah.

Ini diperparah dengan hambatan teknis seperti lemahnya jaringan internet saat pendaftaran online, serta keterbatasan pemahaman orang tua dalam sistem daring. Akibatnya, banyak anak kehilangan kesempatan belajar hanya karena sistem yang tidak adaptif dan tidak merata.

Ruang Masih Ada, Jam Guru Masih Kurang

Ironi berikutnya adalah di beberapa sekolah negeri, masih terdapat ruang kelas kosong yang tidak digunakan. Bahkan di SMA tertentu, tersedia dua hingga tiga ruangan belajar yang bisa difungsikan segera. Namun, sekolah tidak bisa secara mandiri membuka rombongan belajar (rombel) tambahan tanpa keputusan Dinas Pendidikan.

Masalah ini berkaitan langsung dengan distribusi beban kerja guru. Banyak guru, terutama yang sudah bersertifikasi, kekurangan jam mengajar. Seorang guru bisa saja hanya mendapatkan 1 kelas, sementara lainnya menangani 4 hingga 8 kelas—padahal tunjangan dan gaji mereka sama. Ketimpangan ini menimbulkan ketidakadilan, menurunkan kualitas pengajaran, dan menambah beban administratif sekolah.

Tambah Rombel: Solusi Rasional yang Harus Diawasi

Solusi yang paling langsung dan realistis adalah membuka rombongan belajar tambahan di sekolah yang masih memiliki ruang dan tenaga pengajar yang cukup. Jika setiap SMA Negeri di Kota Kupang membuka minimal dua rombel tambahan, ratusan siswa bisa tertampung, dan kebutuhan guru untuk jam mengajar juga terpenuhi.

Namun, ini harus disertai dengan pengawasan ketat dan regulasi yang jelas. Tanpa itu, kebijakan ini bisa dimanfaatkan oleh oknum sekolah untuk mencari keuntungan pribadi melalui pungutan liar atau manipulasi data siswa.

Pengawasan dari Dinas Pendidikan dan pelibatan masyarakat sipil mutlak diperlukan.

Tiga Solusi Tambahan untuk Perbaikan Sistem

Selain penambahan rombel, ada tiga ide strategis tambahan yang perlu segera dipertimbangkan oleh pemerintah daerah:

Pertama, Sekolah Penyangga atau Mitra Sekolah Favorit. Pemerintah perlu menetapkan sekolah-sekolah tertentu sebagai mitra dari sekolah yang disebut “favorit”. Misalnya, jika SMA 3 telah penuh, maka SMA 7 bisa ditetapkan sebagai sekolah mitra yang menampung siswa dari wilayah Oebufu dan sekitarnya. Ini akan mendorong kolaborasi antar sekolah, bukan kompetisi, dan memungkinkan pemerataan kualitas kurikulum antar sekolah melalui koordinasi manajemen dan mutu.

Kedua, Skema Kerja Sama dengan Sekolah Swasta Terakreditasi. Pemerintah daerah dapat menjalin kerja sama dengan sekolah swasta berkualitas yang masih memiliki banyak ruang kosong, misalnya seperti SMA Swasta Terakreditasi.

Skema pembiayaan bisa menggunakan dana BOS atau subsidi khusus dari APBD, terutama untuk siswa tidak mampu. Ini akan membantu mengurangi tekanan di sekolah negeri sekaligus menjamin akses siswa ke pendidikan berkualitas. Tentu saja, seperti penambahan rombel, skema ini juga membutuhkan pengawasan ketat, mekanisme seleksi yang transparan, dan syarat penerima yang objektif.

Ketiga, Reformasi Sistem Domisili Berbasis Data Spasial. Untuk jangka menengah dan panjang, sistem domisili harus direformasi secara menyeluruh. Penetapan wilayah domisili 1 harus mempertimbangkan:

(1) Jumlah kelurahan per domisili

Kepadatan penduduk usia sekolah

Akses transportasi dan jarak tempuh; (2) Jumlah dan jenis sekolah di tiap wilayah.

Proses ini harus melibatkan Dinas Pendidikan, Dispendukcapil, dan pihak sekolah, dengan dukungan peta digital dan data spasial. Jangan lagi hanya mengandalkan batas administratif lama yang tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Tujuannya: menciptakan sistem distribusi yang adil dan merata.

Pendidikan Adalah Hak, Bukan Lomba Cepat-Cepatan

Masalah ini bukan sekadar urusan teknis atau administratif. Ini soal hak dasar anak atas pendidikan.

Ketika negara membiarkan anak-anak kehilangan kesempatan belajar karena sistem pendaftaran yang timpang, maka negara telah lalai menjalankan konstitusi.

Karena itu, melalui tulisan ini, kami mendorong agar:

(1) Dinas Pendidikan segera memetakan potensi penambahan rombel di seluruh sekolah negeri.

(2) Segera diterbitkan regulasi dan SOP pembukaan rombel dengan mekanisme akuntabel.

(3) Pemerintah daerah membuat perjanjian kerja sama dengan sekolah swasta terakreditasi baik untuk menampung siswa melalui skema subsidi.

(4) Segera dilakukan audit ulang dan pemetaan berbasis data terhadap sistem domisili yang berlaku saat ini.

Bergerak Sekarang, Jangan Tunggu Tahun Depan

Anak-anak kita tidak bisa menunggu hingga tahun ajaran depan. Waktu mereka berjalan terus. Mereka butuh sekolah sekarang. Mereka butuh ruang belajar sekarang. Guru-guru kita juga butuh ruang untuk mengajar dan memenuhi hak-hak mereka.

Solusinya ada. Penambahan rombel, kolaborasi antar sekolah, subsidi untuk sekolah swasta, dan reformasi sistem domisili—semuanya mungkin dilakukan asalkan ada kemauan politik, pengawasan yang jujur, dan niat tulus untuk membela pendidikan rakyat.

Kupang, 9 Juli 2025