Surat Dari Puing-puing, Tangisan Anak-Anak Kuatae Untuk YNS

oleh
oleh
Shares

MataTimor.com – TTS – Malam itu, angin bertiup lembut di Desa Kuatae, tetapi suasana hati warganya tetap berat. Hujan deras yang mengguyur beberapa hari sebelumnya telah merenggut tempat tinggal mereka, memporak-porandakan tanah yang selama ini mereka pijak dengan penuh kebanggaan. Tidak ada lagi rumah-rumah yang berdiri tegak, hanya puing-puing berserakan, menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya bencana yang terjadi.

Di tengah reruntuhan dan tanah yang masih basah, terdengar suara anak-anak bukan suara riang seperti biasanya, melainkan isakan tertahan dan doa-doa lirih yang dipanjatkan kepada Tuhan. Mereka telah kehilangan rumah, tempat bermain, bahkan sekolah mereka yang dulu menjadi bagian dari keseharian.

Yayasan Yusinta Ningsi Sejahtera (YNS), yang dipimpin oleh seorang putri daerah, Yusinta Nenobahan, meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Jakarta untuk datang dan melihat sendiri kondisi saudara-saudaranya. Ia tidak datang hanya sebagai seorang dermawan, tetapi sebagai seorang anak daerah yang hatinya teriris melihat penderitaan warganya sendiri.

Selama tiga hari di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Uchie sapaan akrab Yusinta Nenobahan berusaha membawa sedikit kebahagiaan di tengah duka. Ia mengumpulkan anak-anak, mengajak mereka bermain, bernyanyi, dan bercanda, berharap setidaknya untuk sesaat mereka bisa melupakan kesedihan yang melingkupi hati mereka.

Namun, saat malam mulai larut dan keceriaan sesaat itu memudar, kesedihan kembali menyelimuti wajah-wajah kecil itu. Pada Senin malam, 25 Maret 2025 di Gor Nekmese SoE , anak-anak dari PAUD, TK, SD, hingga SMP berkumpul, bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk menyampaikan isi hati mereka melalui surat yang mereka tulis sendiri.

Di hadapan Uchie dan timnya, mereka membacakan surat itu satu per satu. Suara mereka bergetar, beberapa kali mereka terdiam, menahan air mata yang tak lagi bisa dibendung.

Bintang Taneo, seorang siswa kelas IX SMP Kristen 3 SoE, membaca suratnya dengan suara pelan namun penuh makna, “Harapan saya setelah terjadi longsor yang sangat mengerikan ini, saya dan keluarga boleh mendapat tempat tinggal yang layak. Tuhan, tolong Desa Kuatae. Saya ingin meninggalkan kenangan pahit ini, agar air mata kami tidak lagi jatuh mengenang semua yang terjadi.”

Sri Ayu Lenamah, siswa kelas VIII, menatap Wajah Uchie sambil berusaha menahan tangis, “Desa kami dulu baik-baik saja, tetapi sekarang rumah-rumah kami hancur dan tidak bisa ditinggali. Saya ingin pemerintah memberikan kami tempat tinggal yang baik dan nyaman. Saya ingin tinggal bersama keluarga saya tanpa rasa takut.”

Rifki Ola, siswa kelas IX, berbicara dengan penuh harapan, meskipun suaranya terdengar getir, “Saya ingin Desa Kuatae kembali seperti dulu, tempat di mana saya tumbuh, bermain, dan bersuka cita bersama orang tua dan teman-teman. Saya ingin kembali ke sekolah seperti biasa. Saya berharap pemerintah mau membantu kami menemukan tempat tinggal yang layak.”

Namun, surat yang paling mengoyak hati datang dari Dea Benu, siswa kelas VIII. Dengan suara bergetar, ia mengenang hari-hari terakhir sebelum bencana itu datang, “Setiap pagi, kami selalu memulai hari dengan doa. Ayah bekerja di pasar, ibu dan kakak saya di rumah, dan saya pergi ke sekolah. Hari-hari terasa begitu biasa, begitu hangat. Tapi semua berubah pada 20 Maret 2025. Hujan turun dengan derasnya, tanah mulai bergerak, dan tiba-tiba rumah-rumah kami roboh. Kami harus pergi meninggalkan desa kami yang penuh kenangan. Rasanya berat sekali. Kami ingin kembali, tapi kami tahu, tidak ada yang bisa kembali seperti semula.”

Setiap kata yang mereka ucapkan seolah menambahkan beban di dada siapa pun yang mendengarnya. Mereka tidak meminta hal yang berlebihan, hanya tempat tinggal yang aman, sekolah yang bisa mereka datangi kembali, dan kesempatan untuk menjalani hidup mereka seperti sebelumnya.

Namun, kenyataan berkata lain. Rumah-rumah mereka sudah tak bisa diperbaiki, tanah yang mereka pijak tidak lagi kokoh, dan desa yang dulu menjadi tempat mereka bermain kini hanya menyisakan reruntuhan dan kesedihan.

Uchie yang selama ini berusaha tegar, akhirnya tak bisa lagi menahan air matanya. Ia merasakan betul betapa beratnya beban yang harus ditanggung anak-anak ini. Dalam pelukan hangatnya, ia mencoba memberi mereka kekuatan, meski ia sendiri pun tak tahu bagaimana harus menghapus semua luka yang telah terjadi.

Pemerintah telah memberikan bantuan darurat, tetapi itu tidak cukup. Anak-anak ini butuh lebih dari sekadar makanan dan selimut; mereka butuh rumah, rasa aman, dan harapan untuk masa depan mereka.

Di malam yang dingin itu, di bawah langit yang gelap, suara lirih doa-doa mereka masih terdengar. Mereka tidak meminta kemewahan, mereka hanya ingin bisa kembali merasakan arti rumah.

Dan di tengah puing-puing yang berserakan, hanya satu pertanyaan yang tersisa: adakah yang benar-benar mendengar tangisan mereka?

Namun, tiba-tiba suasana berubah seketika. Udara yang tadinya hanya diisi isakan tangis, kini mulai dipenuhi alunan suara lirih anak-anak yang menyanyikan lagu “Rindu Rumah”, sebuah lagu ciptaan Wizz Baker yang liriknya begitu menyayat hati.

Suara mereka terdengar begitu pelan di awal, seperti ragu, seakan setiap kata dalam lagu itu mengingatkan mereka pada rumah yang kini tak lagi ada. Namun, semakin lama, suara itu semakin lantang—tidak dalam kebahagiaan, melainkan dalam kepedihan yang mendalam.

“Rindu memaksaku untuk kembali

Menengok kenangan masa kecilku

Yang penuh cinta dibalut kehangatan

Kini aku t’lah jauh berada, Rindu Rumah ”

Setiap bait lagu yang mereka nyanyikan terasa begitu menusuk. Suara mereka terdengar bergetar, beberapa anak mulai menangis, sementara yang lain saling menggenggam tangan, mencoba menahan rasa sakit yang begitu dalam.

Bulu kuduk meremang, hati terasa sesak. Seakan-akan, melalui lagu itu, mereka sedang berbicara langsung kepada Tuhan, bertanya mengapa bencana ini harus terjadi, mengapa mereka harus kehilangan tempat yang selama ini mereka sebut “rumah”.

Yusinta Nenobahan, yang sejak awal mencoba menahan air mata, akhirnya tak kuasa lagi. Matanya memerah, tangannya bergetar. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang bisa benar-benar menghibur anak-anak ini. Mereka telah kehilangan terlalu banyak, terlalu cepat.

Di malam yang dingin itu, hanya satu harapan yang tersisa semoga ada tangan-tangan yang bersedia menolong mereka, agar suatu hari nanti, mereka bisa kembali memiliki tempat yang bisa mereka sebut “rumah”.

No More Posts Available.

No more pages to load.