SKCK: Bukti atau Beban? Ketika Narapidana Diadili Kembali di Masyarakat

oleh -Dibaca 576 Kali
oleh
IMG 20250128 145223 scaled

MataTimor.com. Soe, TTS – Isu tentang hak-hak warga binaan pemasyarakatan (WBP) kembali mencuat di tengah berbagai persoalan yang melingkupi kehidupan mereka di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan). Pernyataan tajam tentang dampak buruk stigmatisasi sosial terhadap mantan narapidana membuka mata banyak pihak terhadap perlunya perubahan kebijakan yang lebih manusiawi dan berlandaskan hak asasi manusia (HAM).

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Nicholay Aprilindo B., dalam kunjungannya ke Rutan Soe, pada Selasa (28/1/2025), menekankan pentingnya menjaga hak dasar WBP, termasuk hak atas perlakuan manusiawi, hak mendapatkan pendidikan, serta jaminan atas remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan.

Nicholay menyoroti salah satu isu utama yang sering dihadapi oleh mantan narapidana, yaitu sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat kewajiban melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

“Ketika masyarakat menganggap SKCK sebagai penentu layak atau tidaknya seseorang bekerja, hal ini justru membebani mantan narapidana, istri, anak, dan keluarganya. Ini sama saja seperti menghukum mereka dua kali, bahkan bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM,” ujarnya.

Menurutnya, tekanan sosial ini dapat mendorong mantan narapidana untuk kembali terjerumus ke dalam tindakan kriminal karena merasa dikucilkan oleh masyarakat. “Kalau orang ingin berbuat baik tetapi dihambat, mereka akan berpikir ulang. Akhirnya, timbul lagi niat untuk berbuat kejahatan. Kita semua, termasuk petugas Rutan, Lapas, dan Kemenkumham, harus menyuarakan perlakuan yang manusiawi bagi mereka,” tegas Nicholay.

Dalam pertemuan tersebut, Nicholay menjabarkan hak-hak WBP yang telah dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya:

1. Hak untuk Tidak Disiksa: Berdasarkan Pasal 28I Ayat 1 UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, warga binaan memiliki hak untuk hidup, tidak disiksa, dan diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.

2. Hak Mendapatkan Remisi: Berdasarkan Pasal 10 UU Pemasyarakatan, warga binaan yang memenuhi syarat, seperti berkelakuan baik dan mengikuti program pembinaan, berhak atas remisi, asimilasi, hingga pembebasan bersyarat.

3. Hak atas Pendidikan: Setiap Lapas wajib melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi warga binaan dan anak didik pemasyarakatan sebagai bentuk rehabilitasi sosial.

4. Hak Menerima Kunjungan: Undang-undang menjamin hak WBP untuk menerima kunjungan dari keluarga, advokat, dan masyarakat tanpa pembatasan waktu, meskipun kebijakan internal sering kali mengatur durasi kunjungan karena keterbatasan fasilitas.

Selain hak, Nicholay menyoroti permasalahan overkapasitas di Lapas dan Rutan yang turut membebani anggaran negara. Ia mengungkapkan bahwa biaya makan per WBP meningkat dari Rp16.000 menjadi Rp25.000 per hari.

“Kondisi ini harus menjadi perhatian bersama. Apakah kita hanya menghukum tanpa memperbaiki? Penjara seharusnya menjadi tempat rehabilitasi, bukan tempat untuk menghancurkan masa depan seseorang,” ujarnya.

Nicholay juga menyinggung pandangan masyarakat yang masih menganggap hukuman penjara sebagai bentuk balas dendam sosial.

“Hukuman penjara bukan untuk membunuh kehidupan seseorang, tetapi untuk memulihkan mereka agar dapat kembali ke masyarakat. Kita harus meninggalkan cara berpikir primitif yang bangga melihat orang dipenjara,” katanya.

Untuk itu, ia mendorong semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk bekerja sama dalam menciptakan sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi. Hak-hak warga binaan harus dihormati, termasuk hak atas remisi, kunjungan keluarga, dan program pembinaan.

“WBP adalah bagian dari masyarakat kita. Ketika mereka kembali, kita harus siap menerima mereka sebagai individu yang lebih baik. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kemanusiaan,” pungkas Nicholay.

No More Posts Available.

No more pages to load.