Petani NTT Terjebak Dalam Kemiskinan Struktural

Foto: Anita Anastasia Pella, S.Si Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten TTS
Shares

TTS, MataTimor.com- Di balik keindahan alam Nusa Tenggara Timur (NTT), terbentang kenyataan getir yang menghantui kehidupan mayoritas penduduknya: kemiskinan struktural yang menjebak para petani dalam lingkaran ketidakberdayaan. Mereka bekerja keras, menggantungkan hidup pada tanah dan cuaca, namun tetap miskin secara ekonomi, sosial, bahkan politis. Ironi ini sudah terlalu lama dibiarkan dan seakan menjadi takdir yang tak tergugat.

Petani: Mayoritas yang Terpinggirkan

NTT adalah provinsi agraris. Data BPS mencatat, pada 2024, lebih dari 56% tenaga kerja di NTT menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Sektor ini juga menjadi penyumbang terbesar PDRB provinsi, mencapai 28,87%. Tapi angka itu hanya mencerminkan kontribusi makro yang tidak linier dengan kesejahteraan petani.

Selama 2019–2024, angka kemiskinan memang menurun dari 20,62% menjadi 19,02%, namun tetap jauh di atas rata-rata nasional sebesar 8,57%. Lebih mencemaskan lagi, sebagian besar kelompok miskin ini adalah petani. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian yang mestinya menjadi tulang punggung ekonomi, justru menjadi ladang kemiskinan yang subur.

Mengapa Petani Tetap Miskin?

Masalahnya bukan hanya cuaca atau harga komoditas yang tidak stabil. Petani di NTT menghadapi kemiskinan struktural kondisi ketertinggalan yang dipelihara oleh sistem yang tidak berpihak. Akar persoalannya kompleks:

1. Kepemilikan lahan: Warisan sistem pembagian tanah secara turun-temurun melahirkan petani gurem yang mendominasi 58,05% dari total 858.678 petani pengguna lahan (Sensus Pertanian 2023). Mereka mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar, terlalu kecil untuk produktivitas tinggi.

2. Topografi dan iklim: Sebagian besar lahan berbatu, curah hujan rendah, dan kekeringan berkepanjangan menyebabkan panen gagal atau tidak menentu.

3. Teknologi dan infrastruktur minim: Akses terhadap alat, pupuk, pasar, jalan tani, dan penyimpanan hasil panen masih sangat terbatas.

4. Lemahnya kelembagaan ekonomi lokal: Ketiadaan koperasi yang kuat dan minimnya pelatihan membuat petani sulit keluar dari jebakan tengkulak dan sistem jual rugi.

Bantuan Sosial Bukan Solusi Permanen

Peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 0,53% pada Mei 2025 bukanlah kabar yang membanggakan. Angka itu terlalu kecil untuk mengubah realitas struktural yang sudah mendarah daging. Solusi tambal sulam seperti bantuan sosial, subsidi musiman, atau program karitatif hanya meredam gejala sesaat, bukan menyembuhkan penyakit kronis.

Jalan Keluar: Transformasi Kebijakan dan Keberpihakan

Saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berani mengambil langkah strategis dan berjangka panjang. Lima hal ini harus menjadi prioritas:

1. Reformasi Agraria Sejati

Bagikan lahan terlantar atau negara kepada petani gurem. Legalkan kepemilikan tanah yang sudah lama digarap. Lindungi tanah ulayat masyarakat adat. Ubah lahan kering menjadi ladang peternakan, hortikultura, atau agroforestri sesuai karakteristik lokal.

2. Investasi Teknologi dan Infrastruktur Tahan Iklim

Fokus pada pertanian lahan kering: pengembangan varietas tahan kekeringan seperti sorgum dan jagung lokal, sistem irigasi tetes, panel surya untuk pompa air, serta pengering hasil panen bertenaga surya. Bangun embung, jalan tani, dan pusat pelatihan pertanian.

3. Penguatan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Komunitas

Bentuk koperasi produksi dan pemasaran yang tangguh dan sederhana, bukan sekadar koperasi simpan pinjam. Koperasi harus mampu mengelola pupuk, benih, pasca panen, hingga pemasaran hasil tani. Latih petani terutama generasi muda dalam manajemen usaha, teknologi, dan pemasaran digital.

4. Diversifikasi dan Hilirisasi Produk Lokal

Jangan hanya bergantung pada satu jenis komoditas. Kembangkan sorgum, kelor, madu hutan, dan peternakan sapi. Dorong hilirisasi agar petani tidak menjual dalam bentuk mentah tapi bisa menghasilkan nilai tambah melalui pengolahan.

5. Perluasan Akses Asuransi Pertanian dan Jaminan Sosial

Petani gurem harus dilindungi dari gagal panen dan fluktuasi harga melalui Asuransi Usaha Tani (AUTP). Pemerintah harus aktif memberikan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan agar asuransi tidak hanya menjadi jargon tetapi solusi nyata.

Petani Adalah Subjek Pembangunan, Bukan Objek Bantuan

Paradigma pembangunan harus berubah. Petani bukan hanya penerima bantuan atau target statistik penurunan kemiskinan. Mereka adalah pelaku utama pembangunan desa, ketahanan pangan, dan stabilitas ekonomi lokal. Mereka harus didengarkan, dilibatkan, dan diberdayakan.

NTT tidak akan maju jika petaninya terus tertinggal. Mengentaskan kemiskinan petani bukan pilihan, tapi keharusan moral dan politik. Bila kita terus abai, maka kemiskinan akan terus diwariskan lintas generasi — bukan karena petani malas, tapi karena sistem yang membelenggu mereka untuk tetap kecil dan tak berdaya.

Mari berhenti menyalahkan petani, dan mulai menata ulang sistem yang membuat mereka terpinggirkan. Kita butuh revolusi agraria, bukan hanya dalam tanah, tetapi juga dalam cara berpikir dan bertindak.