oleh : Vony Kerek
Pegiat Pendidikan
TTS,MataTimor.com– Siang itu matahari bersinar sangat terik. Sepertinya Mentari bersinar dengan begitu sungguh – sungguh. Luna mengayunkan Langkahnya menyusuri jalan yang biasa ia lewati sepulang sekolah. Sesekali ia menyeka keringat di keningnya. Ia terlihat letih. Entah karena Mentari yang bersinar dengan sungguh – sungguh, ataukah kejadian di dalam kelas tadi yang membuat pikiran dan tubuh Luna terasa sangat letih. Obrolan antara Luna dan Dika di kelas tadi, membuat Luna merasa bahwa hari ini tidak seindah hari – hari biasanya di sekolah.
Sesampainya di rumah, Luna memberi salam dan langsung menuju kamarnya. Ia membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Memejamkan matanya,membiarkan waktu membawa kembali pikirannya pada beberapa jam yang lalu, Ketika ia mengobrol dengan Dika. Tetapi semakin ia mengingatnya, pikirannya semakin kacau, suasana hatinya semakin tidak karuan, namun ia pun tidak tahu bagian mana dari hati dan pikirannya yang kacau itu.
“Luna….aku suka sama Dio, dan sepertinya, Dio juga…..” itulah kalimat yang disampaikan Dika siang tadi. Kalimatnya tidak Panjang, tapi efeknya sangat berkepanjangan untuk Luna. Luna juga tidak paham, mengapa kalimat yang pendek itu, mampu mengobrak abrik suasana hati Luna. Memporak porandakan ketenangan pikirannya dan bahkan merubah mudnya menjadi buruk. Buruk sekali.
Luna, Dika dan Dio adalah teman sekelas. Luna dan Dika sudah bersahabat sejak kecil. Sementara Dio baru saja pindah ke kota itu, karena mengikuti orang tuanya. Selama ini mereka bertiga berteman baik. Mereka sering belajar Bersama, mengerjakan tugas sekolah bersama, ke kantin pun sering Bersama. Semuanya berjalan normal dan indah. Hingga pada akhirnya…..tepatnya di siang itu…..Luna harus mendengar sebuah pernyataan yang keluar dari mulut Dika, tentang perasaannya ke Dio. Tidak ada yang salah memang, tapi entah mengapa, pikiran dan perasaan Luna jadi tidak karuan setelah mendengar pernyataan itu. Pikiran Luna semacam kacau,kacau sekali. Perasaan Luna semacam sedih, sedih sekali. Tapi mengapa harus seperti ini? Bukannya Luna dan Dio juga adalah teman? Ada apa ini?
‘Huuffttt…….” Luna berseru pelan. Mencoba melepaskan kekacauan itu dari benaknya. Tapi sia -sia. Kekacauan itu tidak juga mau pergi. Dibolak baliknya tubuhnya di atas ranjangnya. Tapi sia – sia juga.
“Lun….makan dulu….” Suara Ibu Luna terdengar dari luar kamar.
“Nanti saja Bu, Luna belum lapar.” Bahkan sampai rasa lapar pun, tidak lagi ia rasakan. Luna menyadari benar, betapa dashyatnya pengaruh dari pembeicaraan Dika tadi. Begitu penatnya kepala Luna memikirkan hal yang terasa tidak jelas itu namun sangat berpengaruh, hingga akhirnya Luna tertidur.
“Lunaaaa……Lunaaaa…..” suara Ibu dari balik pintu kamar Luna, membangunkan Luna dari tidurnya. Dilihatnya ponselnya, 18.10.
“Astaggaaa…..sudah hampir malam…..” Luna sedikit berteriak. Kaget. Ia terperanjat dari tempat tidurnya. Ia masih mengenakan seragam putih abu – abunya. Luna membuka pintu kamarnya.
“Lunaaa….kamu belum mengganti seragam mu?” Ibu Luna menunjukkan ekspresi kaget dan tidak setuju.
“Iya Bu….sebentar juga Luna ganti kok…..” suara Luna memelas.
“Cepat ganti baju mu, ada teman sekolah mu sudah menunggu di teras, disuruh masuk, tapi maunya duduk di taras.” Ibu Luna langsung pergi sebelum Luna bertanya.
“Teman sekolah? Siapa ya?” Luna membatin.
Beberapa saat kemudian Luna sudah berjalan menuju ruang tamu dan terus ke teras rumah.
“Dio? Ada apa?” Luna sedikit kaget melihat Dio.
“Luna, aku mengantarkan buku catatan Bahasa Indonesia mu. Yang aku pinjam tadi siang. Tadi setelah pulang sekolah, aku mencari mu, tapi kata Dika, kamu pulang lebih awal karena sakit perut. Bagaimana keadaan kamu sekarang ?”
“A…a…aku baik….maksud ku….sudah membaik….” Luna menjawab dengan sedikit gugup. Bagaimana tidak. Sejak kapan Luna sakit perut? rasanya ia tidak bertemu Dika waktu pulang sekolah tadi? Dan ia juga tidak pulang lebih awal? Tapi kenapa Dika memberitahu Dio kalau ia pulang lebih awal? Banyak sekali pertanyaan di kepala Luna.
‘Lun…hei….” Dio menepuk tangan mengagetkan Luna dari lamunannya.
“Eh…iyaa….”
“Kamu ngelamun? Atau kamu masih sakit? Sudah minum obat?” Pertanyaan bertubi – tubi dari Dio. Ada nada khawatir dari nada bicara Dio.
Malam itu, seperti biasa, setelah mandi, Luna makan malam Bersama keluarganya, setelah itu ia masuk ke kamar untuk belajar. Dilihatnya buku catatan Bahasa Indonesianya yang bersampul biru muda, di bagian kiri atas tertulis Namanya “Aluna Widya” pada bagian bawah buku catatan terdapat sebuah kalimat motifasi “Terkadang sesuatu tidak bisa dicapai, bukan karena kita tidak mampu, tapi karena semesta Tidak Merestui” Ibu Sukma sebagai guru Bahasa Indonesia di sekolah Luna, mengharuskan setiap siswa memiliki kalimat motifasi yang diciptakan sendiri dan ditulis pada buku catatan masing – masing. Sesuai jadwal pelajaran, besok tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia, tapi entah mengapa malam itu Luna sudah dua kali membolak balik buku catatan Bahasa Indonesianya. Terkadang ia membaca isinya, terkadang ia hanya membuka lembar demi lembarnya saja. Malam ini Luna benar – benar tidak ada niat untuk mempelajari pelajaran apa pun. Pikirannya seperti sedang melayang – layang mengelilingi kompleks rumahnya dan mungkin juga mengelilingi kota tempat tinggalnya. Ah…benar – benar tidak mengenakkan. Dalam kepala Luna masih teringat obrolannya dengan Dika. Belum lagi dengan kedatangan Dio tadi dan menyampaikan kebohongan Dika tentang Luna saat pulang sekolah tadi. Luna sudah memaksa berkonsentrasi dalam setiap buku pelajaran yang dipegangnya, tapi sia – sia.
Keesokan harinya di sekolah.
“Hai Lun….” Dika menyapa Luna dengan ceria.
“Hai….” Luna membalas sapaan Dika lengkap dengan senyuman. Baru saja Luna dan Dika hendak memulai pembicaraan mereka., tiba – tiba terdengar suara memanggil nama Luna. Dio berjalan mendekati Luna dan Dika.
“Hai….Luna, Bagaimana keadaan kamu? Semalam sepulang dari rumah mu, aku singgah ke apotik, aku belikan ini untuk mu.” Dio memberikan sebuah vitamin untuk Luna. Luna ragu – ragu untuk mengambil vitamin itu.
“Semalam Dio ke rumah mu Lun? Untuk apa?”
“Aku mengembalikan buku catatan Luna.” Dio sudah menjawab sebelum Luna menjawab pertanyaan Dika. Ada rasa yang lain, yang Luna rasakan dalam pertanyaan Dika. Raut wajah Dika seperti tidak suka dan penuh curiga. Luna menyadari itu. Namun ia pun tidak bisa berbuat apa – apa. Tak lama kemudian terdengar lonceng berbunyi, semua siswa langsung menuju ke kelas masing – masing.
Seminggu sudah berlalu
Hari itu ketika jam istirahat, Dika memanggil Dio. Mereka terlihat duduk di bawah pohon beringin di belakang perpustakaan. Tempat itu tidak banyak dikunjungi oleh siswa karena masih dalam area Perpustakaan, sehingga kegaduhan sangat dilarang di sekitar tempat itu.
“Dio, ada yang aku mau sampaikan ke kamu.”
“iya Dik, ngomong aja.”
“Dio…….” Suara Dika terhenti.
“A….a….aku…suka sama kamu.” Dika akhirnya memberanikan diri unutk berterus terang pada Dio. Spontan pernyataan Dika itu membuat Dio sangat terkejut. Dio hampir saja menjatuhkan cemilan yang ada di tangannya. Dio merasa kaget. Ia benar – benar tidak menyangka kalau Dika memiliki perasaan lebih dari seorang teman terhadap dirinya. Ingin sekali Dio menolak, karena sebenarnya penolakan itu adalah sebuah kejujuran. Tapi, ia tak tega melihat wajah Dika. Dika tersenyum sambil memegang jemari tangan Dio. Dio benar – benar tak tahu apa yang harus ia katakan.
“Dio…….bagaimana jawaban kamu?” Dika bertanya dengan wajah tersenyum. Sepertinya ia yakin sekali kalau Dio juga memiliki persaan yang sama. Sementara Dio, masih tetap saja terdiam karena masih terkejut.
“Nah, kata orang, kalau diam, artinya Yes. Iyakan Dio? Terimakasih ya Dio……jadi mulai sekarang kita bukan lagi teman tapi kita sudah menjadi sepasang keksih. ” Tanpa mendengar kata – kata dari mulut Dio, Dika langsung pergi sambil mengucapkan Terima kasih.
Setelah kejadian di bawah pohon beringin itu, suasana pertemanan Dio, Dika dan Luna menjadi aneh. Hampir setiap keadaan terasa canggung. Apa lagi Dio, yang sudah resmi secara sepihak menjadi pacar Dika. Sejak hari di mana Dika mengungkapkan perasaannya ke Dio, sejak itu juga Dika meninta Dio untuk mengantarnya setiap pulang sekolah, bahkan tidak jarang Dika meminta Dio main ke rumahnya pada sore hari. Dio mengikuti semua permintaan Dika, meskipun dengan perasaan hambar. Kalau boleh jujur Dio tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Dika. kecuali sebagai seorang teman.
Dua minggu sudah berlalu.
“Lun…..” Dio menyapa Luna.
“Hai….” Balas Luna
“Lun…..Aku bisa minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
“Haiiii…….berdua…..” tiba – tiba Dika datang mengejutkan Luna dan Dio.
“Oya…Lun….kayaknya kamu belum dengar kabar terbaru tentang kita ya….” Kata Dika dengan senyum lebar, sambil pelan – pelan menggenggam tangan Dio.
“Kabar apa?” Luna bertanya dengan sedikit heran.
“Kita berdua…..sudah jadian sejak dua minggu lalu…Iya kan Dio?” senyum Dika benar – benar sumringah. Dika terlihat sangat Bahagia.
Sesaat Luna merasa aliran darahnya berhenti, tapi nadinya tetap berdenyut. Tubuhnya seperti dingin. Kaku. Dadanya seperti sesak. Napasnya hampir tak sempat keluar beberapa detik. Tapi ia harus tetap memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tapi kenapa Luna harus merasakan ini? Kenapa harus begini? Apa yang salah dengan berita yang disampaikan Dika? banyak sekali pertanyaan di kepala Luna. Pertanyaan tanpa jawaban. Seperti lautan tanpa pantai. Tak bertepi.
Setelah kejadian itu, semua berjalan seperti biasa. Pelajaran di sekolah, kumpul – kumpul dengan teman di kantin saat istirahat, jam pulang sekolah. Semua hal terlihat normal. Tapi, ada yang lain dalam diri Luna. Luna seperti tidak bersemangat. Luna juga mulai menjaga jarak dengan Dio. tidak lagi terlihat saling bercerita. Namun, jujur, hal ini sangat membuat Luna tersiksa. Dio juga sepertinya sama. Dio terlihat menjaga jarak dengan Luna. Dan hal ini membuat Luna seperti sepi. Sepi sekali. Bagaimana tidak, Dio yang biasanya sering membuat Luna tertawa, sering memperhatikan Luna dalam hal – hal yang sepele, sering menanyakan pelajaran yang kurang dimengerti, kini hilang sudah. semuanya. Betapa sunyi hari – hari yang dilalui Luna. Dan pada akhirnya, Luna menyadari betapa ia sangat merindukan Dio. rindu? Astaga….Mengapa Rindu? Dio kan pacar Dika sekarang? Yaaah…rumit juga situasi ini, tapi siapa yang bisa melarang rindu untuk ada dalam hati seseorang?
Beberapa minggu berlalu. Harus Luna akui, bahwa konsentrasi belajarnya menurun. Sungguh. Seluruh isi kepala Luna hanyalah wajah Dio. ke mana pun Luna pergi, bayang Dio seolah – olah mengikuti, semua benda di sekitar Luna berubah wujud menjadi wajah Dio. semua orang yang Luna jumpai di jalan adalah Dio. Dio, Dio dan Dio lagi. Luna seperti mau gila rasanya. Rasa rindu yang benar – benar tidak pada tempatnya. Rasa rindu yang benar – benar tidak seharusnya. Rasa rindu yang tanpa kompromi. Sangat membuat Luna tersiksa. Tapi Luna tidak punya pilihan lain, selain menjalaninya. Tapi….mengapa harus begini? Kembali Luna bertanya. Mengapa harus merindu? Apa jangan – jangan……Oh….tidak…..pikiran Luna melayang ke mana – mana….mungkinkah Luna juga mencintai Dio? astaga…….
Sore itu di taman sekolah.
Luna dan Dika duduk sambil mengunyah kripik pisang manis. Kripik pisang buatan mama Dika memang favorit. Tiada tandingannya. Tiba – tiba mereka dikagetkan oleh sebuah suara, suara yang mereka kenal.
“Hai…”
“Dio?” Luna dan Dika sama – sama kaget melihat Dio. hari ini Dio tidak masuk sekolah, seharusnya ia tida boleh hadir dalam kegaitan sore hari di sekolah.
“Dik, bisa bicara sebentar?” Dio menatap Dika. mengajak Dika bicara. Dio tidak sedikitpun berpaling pada Luna. Luna merasa risih. Merasa sedikit diabaikan.
“Dik, kalo begitu aku ke kelas ya?” tidak ingin mencampuri urusan Dika dan Dio, Luna memutuskan untuk tidak berada di situ.
“Gak perlu Lun….kamu di sini aja.”Luna benar – benar kaget dengan ucapan Dio. setelah hampir sebulan ini, baru hari ini Luna mendengar Namanya disebut lagi dari bibir Dio. dan entah mengapa, Luna sangat Bahagia. Rindunya yang disimpan selama ini, seolah – olah sedikit terobati.
“Dik, maaf…..a aku rasa aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Ada baiknya kita Kembali seperti dulu saja, kita menjadi teman…..maaf Dika.” tanpa menunggu lama Dio langsung mengutarakan maksud hatinya. Suara Dio terdengar pasti dan tegas. Tanpa ragu sedikit pun. Namun juga terdengar berat, seperti meyimpan tekanan yang sudah berlarut – larut.
“Maksud kamu?” Dika bertanya sambil meletakkan bungkusan kripik di atas bangku taman.
“Dika…..sekali lagi aku minta maaf…. Aku gak bisa……”
“Gak bisa apa? Gak bisa melanjutkan hubungan ini? Kenapa Dio? Apa aku punya salah?” Dika terlihat kaget, marah, sedih dan mungkin juga sedikit menyesal. Sepertinya Dika tidak menyangka kalau Dio akan mengakhiri hubungan mereka secepat itu dan tanpa adanya sebab akibat.
“Maaf Dika……” suara Dio terdengar lebih pelan. “Kalau saja waktu itu kamu bisa mendengarkan penjelasan ku, mungkin hubungan ini tidak akan pernah ada. Padahal waktu itu aku ingin kamu tahu bahwa aku menyayangi mu sebagai seorang teman. Tidak lebih.”
Kata – kata Dio membuat Dika tertunduk. Luna pun hanya membisu. Luna tahu ada air mata yang menetes dari mata Dika. ingin seklai Luna memeluk Dika, tapi entah mengapa saat itu, sepertinya sulit sekali untuk Luna melakukan itu. Luna hanya terpaku di tempatnya.
“Kalian berdua sahabat ku yang baik. dan Terima kasih sudah menjadi sahabat yang baik untuk ku selama ini. Besok, aku akan mengurus surat pindah sekolah. Ayah ku ditugaskan di tempat yang lain lagi. Dan aku harus ikut Ayah.”
Kalimat Dio membuat Luna dan Dika terkejut. Mereka tak mampu berkata apa – apa. Mereka hanya memandang Dio dengan rasa yang ada di hati mereka masing – masing.
“Kamu akan pindah Dio?” pertanyaan Luna seperti meminta ketegasan dari apa yang baru saja Dio sampaikan.
“Iya Lun….” Dio menjawab dengan senyum. Senyum yang indah sekali menurut Luna. Senyum yang selama ini bisa membuat hati Luna tenang dan hangat. Entah itu karna persahabatan mereka, ataukah karna hal lain, Luna pun tak tahu. Dan tak mau tahu.
Keesokan harinya di kelas.
Seperti biasa, Luna datang lebih awal dari teman – teman yang lain. Ia langsung meletakkan tasnya di atas meja. Tiba – tiba ada sepotong kertas biru yang terjatuh dari laci mejanya. Dilihatnya tulisan di kertas itu
Lun…..maaf…..gak bisa ngomong langsung.
Cuma mau bilang terima kasih untuk semuanya. Terimakasih sudah menerima ku sebagai seorang teman, meskipun aku tahu, kalau kamu pun tahu…..
Bahwa sebenarnya….. aku suka kamu……
Tapi…..mungkin memang kita hanya bisa menjadi teman, tidak lebih……
Andai aku bisa memilih, pasti aku akan memilih tetap duduk di bangku di belakang mu, dari pada harus ikut Ayah pindah tugas lagi…..hehehehe…..
Aku sayang kamu Luna……
Dio
Luna memeluk kertas biru kecil itu. Mendekapnya erat di dadanya. Dadanya terasa sesak namun lega. Sesak karena ia hanya bisa memeluk kata – kata Dio dalam kertas ini, namun ia juga lega, karena ternyata, perasaannya terbalas meski hanya sebatas jarak dan angan.
“Terima kasih Dio….. sudah hadirkan sepenggal cerita manis untuk ku, meskipun indahnya tak utuh.” Luna membatin.