Inche Sayuna Hadir di Tengah Duka, Menguatkan Korban Bencana Kuatae

oleh
oleh
Shares

MataTimor.com – Langit mendung menggantung di atas Desa Kuatae, seakan menyelimuti duka yang tengah dirasakan warga. Bencana telah menghancurkan rumah-rumah mereka, meninggalkan puing-puing dan ketidakpastian. Tidak hanya bangunan yang runtuh, tetapi juga harapan mereka akan kehidupan yang stabil. Dalam kondisi penuh penderitaan ini, seorang sosok hadir membawa secercah ketenangan.

Dialah Dr. Inche D. P. Sayuna, S.H., M.Hum., M.Kn., seorang anggota DPRD Provinsi NTT dari Fraksi Golkar, srikandi kelahiran Kualin, Kabupaten TTS, yang sebelumnya juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi NTT periode 2019-2024. Baginya, tanggung jawab sebagai wakil rakyat bukan sekadar duduk di kursi parlemen, tetapi benar-benar hadir di tengah rakyat saat mereka membutuhkan.

Ketika berita tentang bencana yang melanda Kuatae menyebar, Inche Sayuna tidak tinggal diam. Bersama rombongan DPRD Provinsi NTT yang dipimpin langsung oleh Ketua Emilia Nomleni, serta dua wakil ketua, Fernando Jose Lemos Osorio Soares dan Kristien Samiyati Pati, ia bergerak cepat menuju lokasi.

Di Kabupaten TTS, rombongan disambut oleh Pimpinan DPRD TTS, Mordekai Liu dan Arsianus Nenobahan, bersama sejumlah anggota DPRD TTS lainnya. Mereka berama-sama berangkat menuju lokasi bencana, ingin melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana situasi di lapangan. Tak ada jeda, tak ada waktu untuk menunda.

Ketika tiba di Desa Kuatae, pemandangan yang mereka saksikan begitu memilukan. Rumah-rumah yang dulu berdiri kokoh kini berubah menjadi puing-puing berserakan. Sisa-sisa kehidupan yang dulu nyaman kini hanya berupa barang-barang yang tercecer di antara reruntuhan.

Beberapa warga masih tampak mencari sesuatu di tengah puing-puing, mungkin barang berharga yang masih bisa diselamatkan. Ada pula yang hanya duduk terdiam, memandang kosong ke arah rumah mereka yang sudah tak lagi berbentuk. Kesedihan tergambar jelas di wajah mereka.

Namun, bukan hanya duka yang terlihat. Ada pula rasa khawatir—khawatir tentang bagaimana mereka akan bertahan, di mana mereka akan tinggal, dan bagaimana masa depan anak-anak mereka. Ketidakpastian lebih menakutkan daripada bencana itu sendiri.

Melihat kondisi ini, Inche Sayuna tak hanya berdiri dan menyaksikan. Ia mendekati warga satu per satu, menyapa mereka dengan lembut, mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian. Ia sadar, lebih dari sekadar bantuan fisik, para korban juga membutuhkan dukungan moral.

Bersama rombongan, ia berbincang dengan para pemimpin setempat, mencari tahu apa yang paling dibutuhkan warga saat ini. Keputusan harus segera diambil—bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan darurat, tetapi juga untuk mencari solusi jangka panjang.

Setelah melihat langsung kondisi di lapangan, Inche Sayuna bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke GOR Nekmese SoE, tempat ratusan pengungsi kini berlindung.

Di sana, suasana tak kalah memilukan. Anak-anak berlari-lari kecil di antara para orang tua yang duduk termenung. Beberapa dari mereka terlihat lelah, sementara yang lain mencoba menghibur anak-anak agar tetap merasa aman.

Inche tidak ragu untuk masuk ke dalam ruangan-ruangan kecil tempat para pengungsi tinggal sementara. Salah satu ruangan yang ia masuki berukuran sekitar 3×4 meter, ditempati oleh beberapa keluarga sekaligus. Sesak dan pengap, tetapi mereka tak punya pilihan lain.

Di dalam ruangan itu, Inche duduk bersila, menyamakan posisinya dengan para pengungsi. Ia tahu, dalam momen seperti ini, empati adalah hal yang paling dibutuhkan. Duduk lebih tinggi dari mereka hanya akan menciptakan jarak—dan itu bukan yang ia inginkan.

Dengan penuh perhatian, ia mulai mengobrol dengan para korban. Bukan sekadar menanyakan kabar, tetapi benar-benar mendengarkan.

Seorang ibu bercerita, suaranya bergetar. Ia kehilangan rumahnya dalam hitungan menit. Tak ada yang bisa diselamatkan, kecuali nyawa mereka sendiri.

Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki menggenggam tangan ibunya erat-erat. Matanya penuh ketakutan. Ia belum benar-benar memahami apa yang terjadi, tetapi ia tahu bahwa hidupnya sudah berubah.

Mendengar cerita ini, Inche Sayuna menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa kata-kata saja tak akan cukup untuk menghapus luka ini. Namun, ia tetap berusaha memberi ketenangan.

“Kita sudah melihat langsung kondisi di lapangan. Sekarang, yang paling penting adalah kesehatan Bapa, Mama, dan anak-anak. Jangan berkeras untuk tetap tinggal di sana, karena kondisinya masih berbahaya,” ujar Inche lembut, tetapi tegas.

Ia melanjutkan, menekankan pentingnya menjaga kesehatan, terutama bagi anak-anak. Di tempat pengungsian yang penuh sesak, virus bisa menyebar dengan cepat. Anak-anak harus tetap kuat, karena merekalah masa depan.

Tak hanya berhenti di situ, Inche Sayuna juga berdiskusi dengan Ketua TP PKK Kabupaten TTS, membahas langkah-langkah yang bisa diambil untuk membantu para pengungsi.

Kunjungan ini bukan hanya untuk menunjukkan simpati, tetapi untuk mencari solusi nyata. Inche Sayuna memastikan bahwa koordinasi dengan pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, akan terus berjalan.

Salah satu langkah yang dibahas adalah relokasi tempat tinggal bagi para korban. Mereka tak bisa selamanya tinggal di pengungsian. Mereka membutuhkan rumah baru, tempat mereka bisa kembali membangun kehidupan.

“Kami akan berkoordinasi dengan Bupati dan Gubernur untuk mencari solusi terbaik bagi para korban. Kita harus memastikan mereka memiliki tempat tinggal yang aman dan layak,” tegasnya.

Saat Inche Sayuna meninggalkan pengungsian, langkahnya terasa berat. Banyak yang harus diperjuangkan, dan perjalanan ini masih panjang.

Namun, di balik segala duka, ada satu hal yang membuatnya terus melangkah—harapan.

Bencana mungkin telah menghancurkan rumah dan merenggut kenyamanan, tetapi selama masih ada kepedulian, masih ada harapan untuk bangkit kembali.

Di tengah keterpurukan ini, Inche Sayuna membuktikan bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal duduk di kantor, tetapi hadir di tengah rakyat ketika mereka paling membutuhkan.

Ia datang bukan hanya sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai saudara, sebagai sahabat, dan sebagai ibu yang ingin memastikan bahwa anak-anak di Kuatae tetap memiliki masa depan.

Karena baginya, politik bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang kemanusiaan.

No More Posts Available.

No more pages to load.