MataTimor.com – Edukasi – Dalam dunia politik dan pemerintahan daerah, sering muncul pertanyaan seputar batasan wewenang anggota DPRD, terutama terkait dengan jabatan rangkap (dobel job) dan penggunaan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) dalam anggaran daerah. Dua isu ini kerap menjadi sorotan karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Bagaimana regulasi yang mengatur hal ini? Apa batasan yang harus ditaati anggota DPRD? Mari kita bahas secara mendalam dengan merujuk pada berbagai peraturan yang berlaku.
1. Bolehkah Anggota DPRD Memegang Jabatan di Organisasi Olahraga?
Fenomena anggota DPRD yang menjadi ketua dalam cabang olahraga kerap terjadi di berbagai daerah. Secara hukum, tidak ada larangan langsung yang melarang anggota DPRD menjabat sebagai ketua organisasi olahraga, selama:
✔ Tidak menerima gaji atau keuntungan finansial dari jabatan tersebut.
✔ Tidak menggunakan jabatannya sebagai anggota DPRD untuk kepentingan organisasi yang ia pimpin.
✔ Tidak ada benturan kepentingan yang merugikan kepentingan publik.
Namun, dalam praktiknya, jabatan rangkap ini bisa menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika organisasi olahraga tersebut mendapat anggaran dari dana publik yang diputuskan melalui DPRD.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, anggota DPRD harus menghindari konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Artinya, meskipun tidak dilarang secara eksplisit, anggota DPRD harus berhati-hati agar tidak menggunakan jabatannya untuk menguntungkan organisasi yang ia pimpin.
2. Bolehkah Anggota DPRD Menggunakan Pokir untuk Kegiatan Olahraga?
Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) adalah aspirasi masyarakat yang ditampung oleh DPRD dan diusulkan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pokir harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
✔ Pokir yang digunakan dengan benar:
Diajukan melalui mekanisme perencanaan daerah (Musrenbang).
Berorientasi pada kepentingan publik dan bukan pada organisasi tertentu.
Dikelola secara transparan oleh pemerintah daerah, bukan oleh individu anggota DPRD.
❌ Pokir yang digunakan dengan tidak benar:
Dialokasikan secara langsung ke organisasi yang dipimpin oleh anggota DPRD (benturan kepentingan).
Digunakan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau politik.
Tidak melalui mekanisme resmi APBD dan perencanaan pembangunan daerah.
Sesuai dengan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 Pasal 178, Pokir tidak boleh diarahkan untuk kepentingan pribadi atau organisasi yang dipimpin oleh anggota DPRD.
3. Modus Penggunaan Pokir Melalui Dispora: Salah atau Tidak?
Dalam beberapa kasus yang sering kita lihat di beberapa daerah, ada anggota DPRD yang menyalurkan Pokir ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) sebagai “modus” untuk tetap mengendalikan anggaran tersebut. Secara teknis, dana memang masuk ke instansi resmi, tetapi praktik ini bisa menjadi masalah jika:
Anggota DPRD masih mengendalikan penggunaan dana tersebut, meskipun secara administratif sudah dikelola oleh Dispora.
Dispora hanya menjadi perantara untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik secara luas.
Dana hanya diarahkan untuk organisasi yang dipimpin oleh anggota DPRD sendiri, bukan untuk seluruh masyarakat.
Jika terjadi praktik seperti ini, maka anggota DPRD dapat dianggap melanggar beberapa aturan, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – Melarang penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan anggaran.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Mengatur larangan penyalahgunaan jabatan dan gratifikasi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah – Mengharuskan penggunaan anggaran yang transparan dan akuntabel.
Jika anggota DPRD menggunakan pengaruhnya untuk mengontrol dana yang telah dialihkan ke Dispora, maka itu bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan bisa diperiksa oleh BPK, KPK, atau Kejaksaan.
4. Bagaimana Solusi Agar Pokir Digunakan dengan Benar?
Agar Pokir tidak disalahgunakan dan tetap sesuai dengan aturan, berikut beberapa langkah yang harus diterapkan:
✔ Memastikan Pokir berbasis aspirasi masyarakat, bukan kepentingan pribadi.
✔ Transparansi dalam penggunaan dana, termasuk publikasi laporan penggunaan Pokir agar masyarakat bisa mengawasi.
✔ Melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan, bukan hanya anggota DPRD tertentu.
✔ Mekanisme pengawasan ketat dari BPK dan Inspektorat Daerah untuk mencegah penyimpangan.
Jika semua aturan ini diterapkan, maka Pokir benar-benar menjadi instrumen pembangunan daerah, bukan alat kepentingan politik.
Kesimpulan: Hati-Hati dengan Konflik Kepentingan!
✔ Anggota DPRD boleh menjabat sebagai ketua organisasi olahraga, tetapi harus menghindari konflik kepentingan.
✔ Pokir harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan diarahkan untuk organisasi yang dipimpin oleh anggota DPRD.
✔ Menyalurkan Pokir melalui Dispora bukanlah masalah, kecuali jika anggota DPRD masih mengendalikannya secara tidak langsung.
✔ Penyalahgunaan Pokir bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
Sebagai pejabat publik, anggota DPRD harus menjaga integritas dan transparansi dalam pengelolaan anggaran, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif tetap terjaga. Jika tidak, penyalahgunaan wewenang ini bisa berujung pada sanksi administratif hingga pidana.
Masyarakat juga perlu aktif dalam mengawasi penggunaan Pokir, agar pembangunan daerah benar-benar berjalan untuk kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir orang!