MataTimor.com – TTS – Persoalan minimnya keterampilan teknologi perangkat desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) kembali mencuat dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Triwulan I Forum Komunikasi Antar Desa (Forkades) Timor yang berlangsung di Kantor Desa Pollo pada Selasa, 28 Januari 2025. Dalam rakor tersebut, sejumlah kepala desa mengeluhkan bahwa banyak perangkat desa di wilayah mereka tidak mampu mengoperasikan komputer, yang berimbas pada lambannya administrasi dan pelayanan desa.
Keluhan ini mendapat tanggapan serius dari Ketua Forum Pemerhati Pembangunan dan Demokrasi Timor (FPPDT), Doni Tanoen. Ia menyoroti aturan terkait pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa yang dinilai tidak sinkron antara regulasi daerah dan Undang-Undang (UU) yang lebih tinggi.
Doni menjelaskan bahwa sesuai dengan Pasal 48 UU Desa, perangkat desa diangkat oleh kepala desa dari warga yang memenuhi syarat. Syarat dan tata cara pengangkatan pun diatur dalam peraturan desa. Pasal 49 mengatur bahwa perangkat desa dapat diberhentikan karena mengundurkan diri, habis masa jabatan, atau tidak mampu menjalankan tugas secara berkelanjutan, dengan proses yang adil dan transparan. Sementara itu, Pasal 50 menegaskan bahwa lowongan perangkat desa harus diisi dalam waktu enam bulan dan dilakukan secara kompetitif serta transparan.
Namun, menurut Doni, regulasi di Kabupaten TTS, seperti Perda No. 5 Tahun 2017 dan Perbup No. 35 Tahun 2018, tidak selaras dengan UU No. 6 Tahun 2014 yang telah diperbarui menjadi UU No. 3 Tahun 2024. Hal ini menyebabkan kepala desa kehilangan kewenangan untuk memberhentikan perangkat desa yang tidak bekerja secara optimal.
“Tanpa disadari, terjadi perampasan kewenangan desa yang telah diatur dalam UU. Akibatnya, perangkat desa yang tidak memiliki kemampuan, bahkan yang malas bekerja, tidak bisa diberhentikan oleh kepala desa. Padahal, perangkat desa yang tidak mampu menopang kinerja kepala desa justru berkontribusi terhadap buruknya pelayanan pemerintahan desa,” tegas Doni.
Melihat kondisi ini, Doni mendesak DPRD dan Pemda TTS untuk segera berkoordinasi guna merevisi regulasi yang ada.
“DPRD dan Pemda TTS harus segera bertindak agar aturan yang ada lebih fleksibel. Jika kepala desa bisa diberhentikan, mengapa perangkat desa yang tidak bekerja dengan baik tidak bisa?” cetusnya.
Doni juga menyoroti Panitia Seleksi Tahun 2022 yang dianggap bertanggung jawab karena telah memilih perangkat desa yang tidak memiliki kompetensi kerja yang memadai.
“Seharusnya, regulasi daerah harus selaras dengan aturan yang lebih tinggi, bukan bertentangan,” tutupnya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPRD TTS, Yerim Yos Fallo, menyatakan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Komisi I DPRD dan Pemda TTS untuk mencari solusi terbaik.
“Terima kasih atas informasinya. Kami akan berkoordinasi dengan Komisi I agar persoalan ini bisa kami sampaikan ke Pemda,” ujarnya.
Yerim menambahkan bahwa pihaknya akan meninjau kembali Perda No. 5 Tahun 2017, terutama terkait syarat pengangkatan perangkat desa, agar keterampilan teknologi informasi menjadi salah satu persyaratan wajib.
“Persoalan ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah, mengingat peran perangkat desa sangat vital dalam pelayanan publik. Tanpa keterampilan dasar dalam pengoperasian komputer, efektivitas kerja di desa akan terganggu. Oleh karena itu, solusi konkret seperti pelatihan komputer atau revisi regulasi harus segera direalisasikan,”tutupnya