Diduga Lakukan Pemerasan, Soleman Nabuasa Dipolisikan

oleh -Dibaca 411 Kali
oleh
IMG20250312154732 scaled
oplus_131072

MataTimor.com. TTS– Kasus dugaan tindak pidana pemerasan mencuat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) setelah seorang warga bernama Soleman Nabuasa yang adalah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dilaporkan ke Polres TTS, Rabu (12/3/2025).

Laporan tersebut terdaftar dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi Nomor: LP/B/108/III/2025/SPKT/POLRES TTS/POLDA NTT pada Rabu, 12 Maret 2025, pukul 15.00 WITA.

Kasus ini bermula dari insiden yang terjadi sejak Januari 2024 hingga Januari 2025. Sapi yang berkeliaran masuk ke dalam lahan perkebunan warga dan merusak berbagai tanaman, sayuran, serta buah-buahan. Untuk mencegah kejadian serupa, korban bersama masyarakat berinisiatif memasang gembok di pintu masuk perkebunan.

Namun, diduga Soleman Nabuasa bersama beberapa rekannya merusak gembok tersebut, sehingga sapi kembali masuk dan merusak lahan. Tak berhenti di situ, terlapor kemudian meminta denda ganti rugi kepada para korban atas kerusakan yang terjadi.

Dua korban yang mengalami kerugian akibat dugaan pemerasan berdasarkan laporan polisi ini adalah:

1. Halena Bees, mengalami kerugian sebesar Rp 27.000.000,00 (Dua Puluh Tujuh Juta Rupiah).

2. Markus Nome, mengalami kerugian sebesar Rp 2.250.000,00 (Dua Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

Setelah membuat laporan di Polres TTS, Halena Bees mengungkapkan kepada MataTimor.com bahwa ia mengalami pemerasan secara berkala.

“Setiap kali bayar itu dari dua juta lima ratus hingga tiga juta rupiah, tapi pertama kali itu sapi satu ekor yang kalau dijual itu tujuh juta lima ratus ribu rupiah,” jelas Halena Bees.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pembayaran denda dilakukan di rumah Ketua BPD serta kepada Kepala Desa, istri Kepala Desa, Kepala Dusun, dan Tim tertentu.

“Mereka sudah tentukan nilainya, setiap bulan harus setor berapa. Dari tahun lalu saya sudah setor setiap bulan hingga Januari 2025 mencapai 27 juta rupiah,” tambahnya.

Ia juga mengaku mendapat ancaman jika tidak membayar. “Saya diancam kalau tidak bayar itu denda, mereka ancam masuk penjara,” katanya.

Ampere Seke Selan, S.H., M.H., Kuasa hukum para korban menegaskan bahwa kasus ini melibatkan banyak korban dan harus dituntaskan.

“Ini menyangkut hajat hidup banyak orang yang terus berjatuhan di Linamnutu. Ada puluhan korban sehingga saya tertarik untuk menyusut kasus ini hingga tuntas dan menjadi efek jera bagi pelaku pemerasan agar tidak terulang kembali,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa kejadian ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga mengganggu kehidupan para petani di Linamnutu. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya penegakan hukum agar kondisi tetap kondusif.

Ampere Seke Selan juga mengkritisi adanya Peraturan Desa (Perdes) yang diduga dibuat secara sepihak sebagai dalih untuk melakukan pemerasan.

“Motif yang digunakan berdasarkan Perdes yang dibuat secara sepihak. Padahal, dalam pembuatan Perdes, ada mekanisme tersendiri,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa sebuah Perdes harus disusun bersama antara BPD, perangkat desa, dan tokoh masyarakat, kemudian dikonsultasikan ke Bagian Hukum sebelum ditetapkan sebagai peraturan resmi. Namun, menurutnya, Perdes yang dijadikan dasar pemerasan ini merupakan hasil copy-paste dari daerah lain, yaitu di Jawa, dan langsung diterapkan tanpa prosedur yang sah.

“Sehingga sudah memenuhi unsur-unsur pemerasan, yakni memaksa orang lain untuk menyerahkan barang seluruhnya atau sebagian untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.