MataTimor.com – TTS – Di sebuah desa yang terpencil, di bawah langit yang membentang luas di tanah Timor, air mata harapan mengalir tanpa henti. Desa Sunu, sebuah tempat yang tenang namun sarat dengan kenangan, menjadi saksi bisu sebuah momen yang penuh emosi dan haru. Desa ini, terletak di Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, kini menjadi tempat berkumpulnya ribuan jiwa yang penuh kerinduan, menantikan kedatangan seorang putera terbaik mereka. Simon Petrus Kamlasi, calon gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor Urut 3, yang juga merupakan putera asli Desa Sunu, akhirnya kembali ke kampung halaman.
Kegembiraan yang menyelimuti desa itu begitu terasa. Namun, di balik sorak sorai dan tarian yang menggema, ada sesuatu yang lebih dalam yang membuat hati ini tergetar. Teriakan-teriakan penuh semangat, air mata yang tak bisa dibendung, dan tarian khas yang melambangkan kebahagiaan, seakan menyampaikan lebih dari sekadar sambutan. Semua itu adalah simbol dari harapan yang tak terucapkan, dari cinta yang mendalam, dan dari rindu yang telah lama terkubur dalam kesunyian.
Saat Simon Petrus Kamlasi melangkah memasuki desa tercintanya, sesuatu yang luar biasa terjadi. Air mata tak terbendung mengalir, bukan hanya dari masyarakat yang menyambutnya, tetapi juga dari mata sang putera desa. Dalam kesunyian yang mendalam, seolah semua perasaan itu meluap begitu saja. Ratusan warga yang hadir menangis, bukan hanya karena kebahagiaan, tetapi karena mereka tau, bahwa Simon Petrus Kamlasi adalah harapan mereka yang belum terwujud. Teriakan mereka, penuh dengan cita-cita dan doa-doa yang terpendam, menggema di udara, menambah kedalaman makna dari setiap langkah yang diambilnya.
Tarian khas Timor yang mereka tunjukkan bukan sekedar sebuah gerakan, tetapi sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus. Mereka memikul Simon Petrus Kamlasi, bukan hanya sebagai calon pemimpin, tetapi sebagai seorang anak kampung yang kembali setelah lama meninggalkan kampung halamannya, membawa beban harapan yang sangat berat. Saat mereka mengangkatnya, bukan hanya tubuhnya yang terangkat, tetapi juga seluruh impian masyarakat yang menginginkan perubahan, keadilan, dan kemajuan.
Simon Petrus Kamlasi, yang berdiri di tengah-tengah mereka, tak mampu menahan tangisnya. Air mata yang mengalir dari matanya adalah cermin dari perasaan yang mendalam—perasaan yang mengingatkan dia akan penderitaan dan perjuangan rakyatnya. Di depan mereka, dia tahu betul apa yang dirasakan oleh masyarakat desanya. “Saya tahu, saya tahu apa yang kalian rasakan,” ujarnya dengan suara terbata, suaranya hampir tenggelam di balik tangisan yang bergema.
Masyarakat Desa Sunu bukan hanya merindukan perubahan, mereka merindukan keadilan, kesejahteraan, dan perhatian yang layak mereka terima. Mereka merindukan seorang pemimpin yang bisa mendengar dan memahami jeritan hati mereka. Tangisan yang tumpah di hari itu bukan hanya air mata kebahagiaan, tetapi juga air mata yang penuh dengan harapan. Harapan akan masa depan yang lebih baik, harapan yang seolah terpendam dalam hati setiap orang yang ada di sana.
Momen itu, yang dipenuhi dengan tangisan dan haru, adalah bukti nyata dari sebuah ikatan yang tak terputus antara seorang pemimpin dan rakyatnya. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan seberapa dalam perasaan ini, hanya tangisan yang bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Dan Simon Petrus Kamlasi, dengan hati yang penuh kasih dan dedikasi, berdiri di sana, siap untuk menuntun mereka menuju masa depan yang lebih cerah—sebuah masa depan yang mereka percayakan padanya dengan segenap jiwa dan raga.