TTS – MataTimor.com ][ Tragedi longsor yang melanda Desa Kuatae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) menyisakan luka dan duka mendalam. Meskipun demikian, dari reruntuhan itu tumbuh harapan baru berkat inisiatif kemanusiaan dari Yayasan Yusinta Ningsih Sejahtera (YNS) menggandeng Pemerintah Kabupaten TTS untuk membangun 100 unit hunian sementara bagi korban bencana longsor Kuatae TTS.
Tanggapan datang dari Dr. Franchy Christian Liufeto, yang biasa disapa Tian Liufeto, bahwa yang dilakukan YNS merupakan bentuk nyata pelibatan swasta non-komersial yang relevan dan menyentuh konstitusi sosial bangsa.
“Ini bukan sekadar kerja sama proyek. Ini adalah hibah yang menjawab panggilan hati, sejalan dengan hakikat negara untuk hadir ketika rakyat dalam luka,” ujar Tian saat diminta pendapatnya terkait berita bantuan 100 unit hunian dari YNS bagi warga Kuatae yang terdampak bencana longsor belum lama ini.
Gerakan ini hanya dapat muncul dari ketulusan yang timbul akibat kesulitan demi kesulitan yang masih saja terjadi. Sebagai akademisi, fasilitator dan pemateri yang pernah menyampaikan terkait pelibatan sektor swasta dalam pembangunan di Kecamatan dan desa, Dr. Tian Liufeto menyebut bahwa langkah ini merupakan model nyata kolaborasi berbasis nurani dan konstitusi.
“Rencana ini menjadi bukti nyata kerja sama antara sektor swasta, filantropi dan pemerintah daerah dalam merespons bencana secara tanggap dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar membangun rumah, tetapi membangun harapan, martabat dan kepercayaan masyarakat terhadap solidaritas kemanusiaan,” tambahnya.
Tian menggarisbawahi bahwa kerangka hukum di Indonesia telah memberi ruang sangat luas bagi pelibatan sektor non-pemerintah, bukan hanya untuk keuntungan, tetapi lebih-lebih untuk tindakan kemanusiaan. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa desa dapat menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 mempertegas bahwa kerja sama ini bisa diwujudkan untuk layanan dasar seperti perumahan pascabencana, air bersih, dan sanitasi. “Sayangnya, regulasi ini belum cukup diterjemahkan dalam tindakan yang murni berbasis kasih. Apa yang dilakukan YNS bisa menjadi tonggak pemulihan makna gotong royong kita di tengah bencana,” tambah Tian.
Kita tidak mengikuti dengan jelas Nota Kesepahaman dan perjanjian kerjasama antara YNS dan Pemkab TTS yang bisa saja memberi peran kepada pemerintah menyediakan lahan dan YNS menyediakan rumah bagi warga yang kehilangan tempat tinggal namun publik menangkap kesan bahwa kerja sama ini dilakukan tanpa pamrih keuntungan dan demi pemulihan martabat manusia.
Bagi Tian, model seperti ini harus dikawal dan direplikasi. “Kita butuh lebih banyak aksi seperti ini : hibah yang bukan sekadar CSR, tapi CSR yang berjiwa. Kolaborasi yang bukan soal proposal, tapi panggilan nurani.”
Langkah YNS untuk warga Kuatae adalah bukti bahwa ketika aturan digunakan untuk menyentuh hati, bukan semata proyek, maka hukum bisa menjadi alat kasih, bukan kekuasaan. Desa dan bencana bukan menjadi objek bantuan, tapi ruang untuk solidaritas bersama.