MataTimor.com – TTS – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, bukan hanya menjadi agenda tahunan semata, tetapi merupakan momen penting untuk merefleksikan kondisi dan capaian pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2025 ini, peringatan Hardiknas mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Tema ini tidak hadir dalam ruang hampa. them ini lahir dari kebutuhan dan kesadaran kolektif bahwa pendidikan yang berkualitas tidak dapat hanya digerakkan oleh pemerintah semata, melainkan membutuhkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat.
Tema ini menjadi sangat relevan, terlebih jika kita menengok berbagai peristiwa pendidikan inspiratif yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia. Salah satu catatan yang paling membanggakan tahun ini datang dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Wilayah yang selama ini kerap diasosiasikan dengan berbagai tantangan geografis dan keterbatasan infrastruktur pendidikan, justru menunjukkan capaian luar biasa dalam momentum Hardiknas 2025.
Beberapa hari lalu, Kabupaten TTS mencatatkan diri dalam buku Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) atas penyelenggaraan pembacaan puisi dalam tiga bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Dawan (Uab Meto). Peristiwa ini tidak hanya memecahkan rekor, tetapi juga menjadi simbol dari upaya pelestarian budaya lokal sekaligus penguatan literasi lintas bahasa. Bahasa daerah tidak diposisikan sebagai bahasa kelas dua, melainkan disejajarkan dengan bahasa nasional dan internasional, yang mencerminkan semangat keberagaman dan inklusi dalam pendidikan.
Namun, tak berhenti di sana. Capaian yang lebih menggetarkan datang dari seorang anak perempuan bernama Mersi Yusmina Kabu, siswi kelas V dari SD GMIT Putain 2 yang terletak di Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara. Di usia belia, ia berhasil meraih Juara Pertama Nasional dalam Olimpiade Nasional PRESMAS Season 8 (ONPS8) Tahun 2025 untuk kategori Matematika Dasar jenjang SD kelas 4–6. Prestasi ini sangat luar biasa, bukan hanya karena tingkat kompetisinya yang nasional, tetapi juga karena ia datang dari wilayah yang selama ini tidak terlalu tersorot dalam peta pendidikan Indonesia. Keberhasilan Mersi adalah bukti bahwa potensi anak-anak Indonesia tersebar merata, hanya perlu diberi peluang dan dukungan.
Keberhasilan ini pun tidak luput dari perhatian politisi muda asal Kabupaten TTS, David Imanuel Boimau, yang saat ini duduk di DPRD Provinsi NTT mewakili Fraksi Persatuan Hati Nurani Rakyat. Pria yang dikenal dengan taglinenya “d’Boi Naik Kelas” ini menyampaikan refleksinya dalam momentum Hardiknas 2025. Menurutnya, partisipasi semesta bukan sekadar jargon, tetapi harus dihidupkan dalam praktik nyata: mulai dari kebijakan yang berpihak kepada pendidikan rakyat kecil, penguatan peran guru dan kepala sekolah, penyediaan akses internet dan perpustakaan, hingga dukungan moral dari masyarakat terhadap peserta didik.
Dalam salah satu pesannya, David menyatakan, “Jika Mersi bisa meraih juara nasional dari pelosok Amanatun Utara, itu artinya kita tidak kekurangan bibit unggul. Yang kita perlukan adalah sistem yang peduli, guru yang diberdayakan, dan lingkungan yang mendukung. Pendidikan bukan hanya urusan kurikulum, tapi soal komitmen kolektif.”
Pernyataan ini mengandung makna yang dalam. Ia menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas bukan hanya diukur dari angka partisipasi atau nilai ujian, melainkan dari bagaimana sebuah daerah, masyarakat, dan negara memberi ruang tumbuh bagi setiap individu, tanpa terkecuali.
Lebih jauh, apa yang terjadi di Kabupaten TTS adalah cerminan dari tema besar Hardiknas tahun ini. “Partisipasi semesta” mengajak kita melihat bahwa pendidikan tidak lagi bisa berjalan dengan pendekatan top-down. Ia harus bersifat kolaboratif. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, pemuda, gereja, pemerintah lokal, hingga dunia usaha memiliki peran strategis. Ketika semua mengambil bagian secara aktif, maka “pendidikan bermutu untuk semua” bukan lagi harapan, tapi kenyataan.
Namun refleksi ini juga menjadi pengingat bahwa prestasi seperti rekor MURI dan kemenangan Mersi bukan titik akhir. Ia harus menjadi titik awal. Pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan: ketimpangan akses, kualitas guru yang belum merata, fasilitas yang minim, dan sistem evaluasi yang sering kali belum berpihak pada pengembangan karakter dan kompetensi abad ke-21.
Oleh karena itu, momentum Hardiknas 2025 ini harus dijadikan bahan bakar untuk melanjutkan perjuangan. Pemerintah harus memastikan kebijakan anggaran pendidikan tidak hanya besar secara nominal, tetapi tepat sasaran. Guru-guru di pelosok seperti TTS harus mendapat pelatihan dan insentif yang layak. Siswa seperti Mersi harus diberi ruang untuk berkembang lebih jauh melalui beasiswa, bimbingan, dan eksposur ke dunia yang lebih luas.
Pada akhirnya, Hari Pendidikan Nasional bukan hanya peringatan atas jasa Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga panggilan moral untuk melanjutkan perjuangannya. Seperti yang beliau katakan, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Kini saatnya setiap desa menjadi pusat ilmu, dan setiap anak Indonesia dari kota hingga dusun terpencil memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk meraih mimpi mereka.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Mari kita lanjutkan langkah bersama, karena masa depan Indonesia ada di ruang-ruang kelas hari ini.