Babinsa di Tengah Bencana Kuatae, Ketika Senjata TNI Berubah Menjadi Pelindung Rakyat

oleh
oleh
Shares

MataTimor.com – TTS – Bencana alam selalu datang tanpa diundang, menerjang dengan segala dampaknya yang memilukan. Tidak ada yang siap kehilangan rumah, kebun, dan kenangan yang telah terpatri dalam dinding-dinding sederhana tempat mereka bernaung. Namun, ketika tanah longsor melanda sebuah desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tak ada pilihan selain bertahan dan bangkit.

Longsor itu membawa luka yang mendalam. Ratusan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka dan diungsikan ke GOR Nekemese Soe—sebuah tempat yang kini menjadi saksi dari air mata dan ketabahan. Hari demi hari berlalu, enam hari sudah mereka bertahan di pengungsian, dengan harapan yang mulai meredup, namun tetap berusaha bertahan.

Di tengah situasi yang penuh keprihatinan ini, ada sosok yang hadir bukan sekadar untuk menyaksikan, tetapi untuk bekerja dan mengabdikan diri. Dia adalah Sersan Dua Agus Takesan, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Kodim 1621/TTS yang bertugas di Desa Kuatae dan Desa Noemeto. Kehadirannya di lokasi bencana bukan hanya sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara, tetapi juga sebagai pelindung, pengayom, dan saudara bagi masyarakat yang tengah dilanda duka.

Ketika berbicara tentang TNI, banyak orang mungkin membayangkan seragam loreng, senjata, dan barisan pasukan yang disiplin di medan perang. Namun, di tengah bencana seperti ini, fungsi utama seorang prajurit bukanlah bertempur melawan musuh, melainkan melawan penderitaan rakyatnya sendiri.

Senjata yang biasa mereka pegang untuk menjaga kedaulatan kini berganti menjadi sekop untuk membersihkan reruntuhan, bahu yang kokoh untuk memikul beban warga, dan tangan yang terbuka untuk menggendong anak-anak yang kehilangan tempat tinggal.

Sertu Agus Takesan adalah salah satu prajurit yang membuktikan bahwa TNI bukan hanya pasukan bersenjata, tetapi juga benteng perlindungan bagi rakyat. Dalam berbagai kesempatan, ia tampak sibuk membantu evakuasi, membagikan makanan, dan menenangkan warga yang kehilangan tempat tinggalnya.

“Senjata kami bukan hanya untuk perang, tetapi juga untuk melindungi rakyat, dalam keadaan apapun,” ucapnya dengan suara tenang namun penuh ketegasan.

Baginya, pengabdian sebagai seorang Babinsa lebih dari sekadar tugas. Itu adalah janji kepada rakyat—janji bahwa dalam keadaan apapun, TNI akan selalu hadir, bukan hanya untuk bertempur di garis depan, tetapi juga untuk berdiri bersama masyarakat dalam menghadapi cobaan hidup.

Seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) bukan sekadar prajurit biasa. Mereka adalah wajah TNI di tengah masyarakat, penghubung antara rakyat dan negara. Ketika bencana terjadi, merekalah yang pertama kali hadir, bukan hanya sebagai perwakilan militer, tetapi juga sebagai keluarga bagi warga yang mereka dampingi.

Sertu Agus Takesan tidak pernah lelah. Dari pagi hingga malam, ia berada di lokasi pengungsian, memastikan setiap warga mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Ia mengatur distribusi makanan, membantu tenaga medis dalam merawat korban luka, bahkan ikut membersihkan puing-puing rumah yang hancur akibat longsor.

Di satu momen, seorang anak kecil mendekatinya dengan mata yang penuh kebingungan. Bocah itu kehilangan rumahnya, mungkin juga kehilangan keluarganya. Tanpa ragu, Sertu Agus berjongkok, merentangkan tangannya, dan memeluk anak itu erat-erat.

“Jangan takut, Nak. Kami di sini untuk kalian,” bisiknya pelan, memberikan kehangatan di tengah dinginnya malam di pengungsian.

Bagi Sertu Agus, ini bukan sekadar tugas yang diperintahkan oleh atasan. Ini adalah panggilan hati, dorongan yang membuatnya tetap bertahan meski tubuhnya lelah dan pikirannya dipenuhi kecemasan akan masa depan warganya.

Di berbagai kesempatan, TNI selalu menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat. Tagline “TNI Hadir untuk Rakyat” bukan sekadar rangkaian kata, tetapi sebuah janji yang dipegang teguh.

Di lokasi bencana, TNI bekerja bahu-membahu dengan Polri, pemerintah daerah, organisasi keagamaan, NGO, dan masyarakat umum. Tidak ada perbedaan pangkat, tidak ada batas antara pejabat dan rakyat biasa—semua bergerak dengan satu tujuan: membantu mereka yang membutuhkan.

Bencana ini mungkin telah menghancurkan rumah-rumah warga, tetapi ia juga membangun kembali rasa persaudaraan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal kini bersatu dalam duka, berbagi beban, dan saling menguatkan.

Dan di antara mereka, ada seorang Babinsa yang tak pernah hilang dari pandangan, yang selalu hadir di tengah puing-puing dan tenda pengungsian, memastikan bahwa tidak ada satupun warganya yang merasa sendirian.

Saat matahari terbenam di cakrawala NTT, bayangan prajurit dengan seragam loreng masih terlihat bergerak di antara pengungsi. Wajahnya lelah, tetapi semangatnya tetap menyala.

Sertu Agus Takesan mungkin hanya satu dari ribuan Babinsa yang mengabdikan diri di pelosok negeri ini. Namun, kisahnya adalah bukti bahwa di tengah bencana, selalu ada harapan.

Bencana ini bisa saja merenggut banyak hal dari warga Kuatae—rumah mereka, harta benda mereka, bahkan orang-orang yang mereka cintai. Namun, satu hal yang tidak bisa direnggut adalah rasa kemanusiaan.

Dan selama masih ada prajurit seperti Sertu Agus, yang rela meletakkan senjatanya dan menggantikannya dengan tangan yang siap menolong, kita tahu bahwa Indonesia akan selalu kuat.

Karena kekuatan sejati bukan hanya terletak pada senjata, tetapi pada hati yang selalu hadir untuk rakyat.

No More Posts Available.

No more pages to load.